Sabtu, 15 April 2017

KESEJAHTERAAN UMUM UNTUK MERAWAT INDONESIA

Prolog

Sungguhpun tidak ada jaminan suatu peradaban, suatu kerajaan atau negara, akan terus dan tetap bertahan sepanjang masa. Namun ikhtiar untuk terus menjaga keutuhan suatu peradaban, bangsa, negara dan pemerintahan, merupakan keinginan bersama warganya. Sejarah mencatat Mesir Kuno, Inca, Yunani, Romawi, Sriwijaya, Majapahit, hingga Uni Sovyet lenyap. Namun sejarah juga mencatat bahwa peradaban, kerajaan, dan negara itu hancur, hilang, atau tercabik-cabik rata-rata karena pertentangan intenal yang tak berkesudahan, akibat konflik dalam negeri yang berkepanjangan.  Dan konflik di dalam negeri, kerapkali sumber utamanya adalah tidak hadirnya ‘kesejahteraan bersama’ bagi warganya. Ketimpangan pendapatan, akses terhadap sumberdaya yang tidak diatur berdasar kesepakatan yang adil hingga tak samanya kesempatan dan hak hidup warga bangsa.

Tulisan ini mencoba menghubungkan antara ‘berdemokrasi’ sebagai pilihan sistem politik di satu sisi dan hadirnya ‘kesejahteraan” sebagai tujuan bernegara di sisi lain dengan tetap terawatnya Indonesia. Tulisan ini, lebih pada renungan Penulis melihat praktek sistem politik Indonesia kontemporer. Tanpa berpretensi tulisan ini benar, namun refleksi ini tentu saja berangkat dari keprihatinan yang mendalam.

Berdemokrasi, Jalan Menuju Sejahtera?

Perseteruan para pendukung capres di banyak Medsos, hiruk pikuknya Pilgub DKI 2017, maju mundur maju laginya Setya Novanto, rebutan Pimpinan DPD RI, tarik ulurnya negosiasi PT Freeport, dan deret panjang kehebohan jagad politik di tanah air. Nyaris terus mewarnai sepanjang tiga tahun Pemerintahan Jokowi-JK, usai helat Pipres 9 Juli 2014. Tiga tahun arungi ‘samudra’ yang tak sepi dari terpaan badai dan terjangan gelombang. Demikian halnya dengan sepuluh tahun masa Pemerintahan SBY, juga saat Megawati dan Gus Dur menjadi Presiden di negeri ini. Indonesia memang tengah berubah. Tapi apakah perubahan yang tengah terus (terjadi) ini membawa kebaikan bagi warganya? 

Sejak tahun 1998, sistem ketatanegaraan Indonesia pun telah berubah, (bahkan) secara fundamental. Sistem politik yang demokratis, jadi pilihan pasca reformasi. Soal pilihan ini, saya ingat Winston Churchill, yang menyebut “...that democracy is the worst form of government except all the others that have been tried.” Demokrasi bukan sistem pemerintahan terbaik, tetapi belum ada sistem lain yang lebih baik daripadanya. Di sinilah letak keunikan demokrasi itu. Dan antara lain karena alasan inilah, di era reformasi ini, kita memilih untuk menerapkan sistem politik yang demokratis pasca-Orde Baru. Dengan menerapkan sistem politik yang demokratis, diharapkan bangsa Indonesia tidak hanya akan mampu memulihkan kondisi multikrisis yang dihadapinya, tetapi juga merupakan ikhtiar untuk mewujudkan cita-cita bernegara.

Dalam rangka mewujudkan tujuan bernegara inilah, maka di masa reformasi dilakukan konsolidasi demokrasi melalui penguatan kelembagaan politik (baik supra struktur maupun inprastruktur politik). Dalam rangka penguatan kelembagaan politik ini hal yang seharusnya beriringan (diperkuat oleh) aspek budaya masyarakat. 

Namun setelah hampir dua dasawarsa kita memilih sistem politik, dewasa ini terlihat bahwa antara penguatan kelembagaan demokrasi di Indonesia belum atau tidak disertai dengan perubahan budaya masyarakatnya. Sehingga demokrasi sementara ini hanya mempertontonkan ‘demokrasi prosedural’ (hanya alat semata), belum demokrasi substansial (sesuai dengan cita-citanya). Sehingga wajar jika ada pandangan apatis, dari sementara kalangan, yang menyebutkan bahwa, saat demokrasi dijadikan ‘alat atau sarana’ untuk mencapai kesejahteraan telah gagal, maka kesejahteraan bisa diraih dengan cara-cara ‘nondemokratis’, dan demokrasi pun bisa diabaikan. Pandangan yang tidak sepenuhnya benar tentu. Lalu mengapa di tengah sistem demokrasi yang tengah dicobakan, ternyata kesejahteraan rakyat, malah kerap terpinggirkan. Jangankan sejahtera dhahir (batiniah), kesejahteraan lahirian (fisik) saja  ‘masih jauh api dari panggang.’

Penulis termasuk yang berpandangan bahwa Kesejahteraan Umum, yang dimaksud oleh pendiri Negara, bukan ‘kesejahteraan dalam arti ekonomi/fisik’ semata, tetapi lebih luas termasuk ‘kesejahteraan secara ekonomi, social, psikis, budaya, dan lain-lain)’ atau kalimat lain ‘sejahtera lahir bathin’. Untuk mencapai kesejahteraan lahir-bathin maka ‘demokrasi subtansial’ yang mensyaratkan penguatan kelembagaan demokrasi dan penguatan budaya masyarakat haruslah berbasis pada ‘karakteristik local Indonesia’ (berkarakter masyarakat Pancasila). Pemahaman terhadap prinsip keindonesiaan ini harus diinkorporasikan pada saat melakukan penataan ulang (reformasi) kelembagaan Negara.  Penataan ulang kelembagaan Negara agar tujuan bernegara terwujud merupakan keharusan, bersamaan dengan konsolidasi demokrasi yang terus sedang berjalan di Indonesia.

Memajukan Kesejahteraan Umum: Esensi Utama Bernegara di Manapun

Secara bidang per bidang, kita mengenal adanya masalah-masalah sosial di tengah masyarakat kita, misalnya penyandang cacat, orang tua jompo (lansia), fakir miskin, anak nakal dan terlantar, pekerja seks komersial, tuna wisma dan gelandangan, dan lain-lain. Contoh yang disebutkan ini merupakan masalah-masalah sosial yang berhubungan dengan kesejahteraan sosial atau social welfare. Masalah-masalah lainnya seperti ketersediaan pendidikan bagi semua warga, pelayanan kesehatan yang memadai. Perumahan yang layak, serta pekerjaan dan penghidupan yang layak, dapat dikategorikan dalam usaha kesejahteraan ekonomi dan sosial (social and economic welfare). Dalam pandangan penulis, jika usaha-usaha itu digabungkan, maka semua usaha itu dapat disebut sebagai upaya memajukan kesejahteraan umum.

Usaha negara untuk memajukan kesejahteraan umum, merupakan kewajiban yang mendasar yang harus ditunaikan oleh Pemerintahan Negara manapun. Apapun pilihan ideologi bernegara (staatsidee) dan sistem ketatanegaraan (political system) yang dianutnya. Negara Jerman, misalnya tahun 1878 pada saat Otto von Bismarck dari Pantai Sosialis memerintah memperkenalkan program yang diperuntukkan bagi kesejahteraan warganya. Pemerintah Amerika Serikat, yang terkenal sangat liberal dalam garis politik juga melakukan hal yang sama melalui program yang dikenal dengan The New Deal, untuk mengeluarkan warga Amerika Serikat dari kesulitan perekonomian dan kesejahteraan (Carl J. Freidrich, 1967:23). 

Inggris yang menganut liberalisme dengan Pemerintahan Monarcki Konstitusional, memperkenalkan konsep welfare state sejak tahun 1930 berawal dari laporan Tim yang diketuai anggota Parlemen dari Partai Buruh Beveridge yang merumuskan program-program social welfare yang komprehensif. Inggris sebagai negara pertama yang menyelenggarakan program kesejahteraan warga yang cukup komprehensif di awal abad 21. Namun, Stephen Berry, menyebut Inggris sebenarnya belajar dari Jerman pada masa Bismark 1878 dari Partai Sosial memerintah. Dalam artikelnya Berry (http://www.Ia-articles.org.uk/ws.htm), menulis bahwa:
“Bismarck had temporarily banned socialist parties in 1878 and brought in a form of state welfare to placate the working classes and avoid a socialist revolution (In the late 19th century, Germany had the most powerful socialist party in the world). In the 1880s the German state began to provide accident, health and pension insurance and became the conscious model for Lloyd George and William Beveridge, the latter more than anyone being the architect of the British Welfare State.”

Berry menyebutkan bahwa Beveridge berkunjung ke Jerman pada tahun 1907 dan Llyod George pada tahun 1908. Hasil kunjungan ini dan kajian di Inggris menghasilkan sebuah laporan yang dikenal dengan Beveridge Report, berupa program sosial, antara lain memeratakan pendapatan masyarakat, mengusahakan kesejahteraan sosial bagi masyarakat mulai sejak manusia lahir sampai meninggal (from the cradle for the grave), mengusahakan lapangan kerja yang seluas-luasnya, pengawasan terhadap upah yang harus dilaksanakan oleh pemerintah, memperluas usaha dalam bidang pendidikan bagi masyarakat, baik pendidikan formal maupun pendidikan informal.

Dari tiga contoh negara tersebut diperoleh gambaran bahwa menyejahterakan rakyatnya dilakukan di negara manapun tanpa membedakan sistem pemerintahan yang dianutnya. Spicker berbeda dengan pandangan ini. Menurut Spicker negara kesejahteraan sosial yang memberi peran lebih besar kepada negara (Pemerintah) untuk mengalokasikan sebagian dana publik demi menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar warganya. Marshall mengemukakan negara kesejahteraan merupakan bagian dari sebuah masyarakat modern yang sejalan dengan ekonomi pasar kapitalis dan struktur demokratis. Negara-negara yang termasuk dalam kategori ini adalah Inggris. Amerika, Australia, dan Selandia Baru serat sebagian besar negara-negara Eropa Barat dan Utara. Negara-negara yang tidak dapat dikategorikan sebagai penganut negara kesejahteraan adalah negara-negara bekas Uni Soviet dan Blok Timur, karena mereka tidak termasuk negara-negara demokratis maupun kapitalis.[Edi Suharto, 2002]

Edi Suharto (2002) membedakan model negara kesejahteraan dalam empat model, yakni: Pertama, model universal yang dianut oleh negara-negara Skandinavia, seperti Swedia, Norwegia, Denmark dan Finlandia. Dalam model ini, pemerintah menyediakan jaminan sosial kepada semua warga negara secara melembaga dan merata. Anggaran negara untuk program sosial mencapai lebih dari 60% dari total belanja negara. Kedua, model institutional yang dianut oleh Jerman dan Austria. Seperti model pertama, jaminan sosial dilaksanakan secara melembaga dan luas. Akan tetapi kontribusi terhadap berbagai skim jaminan sosial berasal dari tiga pihak (payroll contributions), yakni Pemerintahan, dunia usaha dan pekerja (buruh), Ketiga model residual yang dianut olah AS, Inggris, Australia dan Selandia Baru. Jaminan sosial dari Pemerintah lebih diutamakan kepada kelompok lemah, seperti orang miskin, cacat dan penganggur, Pemerintah menyerahkan sebagian perannya kepada organisasi sosial. Keempat, model minimal yang dianut oleh gugus negara-negara latin (Prancis, Spanyol, Yunani, Portugis, Itali, Chile, Brazil) dan Asia (Korea Selatan, Filipina, Srilanka). Anggaran negara untuk program sosial sangat kecil, di bawah 10 persen dari total pengeluaran negara. Jaminan sosial dari Pemerintah diberikan secara sporadis, temporer dan minimal yang umumnya hanya diberikan kepada pegawai negeri dan swasta. Tidak masuknya negara-negara Eropa Timur dan negara yang menganut ideologi komunis dan sosialis lainnya, bukanlah memajukan kesejahteraan umum. Konstitusi di negara-negara ini malah mencantumkan secara tegas pengaturan tentang tata ekonomi dan tata sosialnya.

Kesejahteraan Umum dalam Konteks Keindonesiaan

Dalam konteks Indonesia, muncul pertanyaan bagaimana konsep kesejahteraan umum (social welfare) dan bagaimana UUD 1945 mengatur kesejahteraan umum. Pertanyaan ini menarik untuk dikaji sehubungan dengan kecendrungan pemerintahan negara-negara modern menjadikan 
kesejahteraan bagi warganya sebagai program krusial. 

Kesejahteraan umum merupakan Pilihan para pendiri bangsa dalam merumuskan tujuan negara. Sekilas terdapat beberapa ide dari pandangan anggota BPUPKI dan PPKI dalam sidang penyusunan UUD 1945. Pandangan pertama, dari Soepomo yang menyebutkan bahwa ide negara (staatidee) yang mendasari pendirian negara Indonesia atau faham kekeluargaan (integralistik). Pandangan ini menurut Soepomo adalah jalan tengah yang menjadi arus utama (mainstream) pemikiran modern saat itu, yakni: faham negara liberalisme berdasar ideologi individualism dan faham negara socialist/absolutism yang berdasar pada sosialisme. Faham negara integralistik, menurut Soepomo “… yang menyatukan negara dengan rakyatnya yang mengatasi seluruh golongan dalam lapangan apapun.” (Saafroedin Bahar, 1995). Ide negara Soepomo ini, menurut penulis, mengejawantah dalam sistem ketatanegaraan, sistem politik, dan juga sistem perekonomian yang disusun dalam UUD 1945. Dalam sistem ketatanegaraan, dapat terlihat dengan besar dan luasnya peran yang dimiliki oleh Presiden, sehingga terkesan bahwa UUD 1945 mempunyai karakter ‘executive heavy’. Dalam sistem perekonomian terlihat dianut konsep atau asas kekeluargaan dalam perekonomian negara dalam Pasal 33 UUD 1945.

Di lain pihak terdapat pula pandangan dari Moh. Hatta, yang mengingatkan agar negara yang dibentuk nanti tidak menjadi negara kekuasaan, misalnya dengan memberikan peran besar pada pemimpinnya. Moh. Hatta menginginkan model ‘negara pengurus’, lalu diusulkannya memasukkan beberapa perlindungan atas hak-hak warga negara, ini dapat dilihat dalam Pidato tanggal 15 Juli 1945. Yang menarik dari diterimanya usul Moh. Hatta ini adalah terdapatnya hak mendapatkan penghidupan dan pekerjaan yang layak dalam Pasal 27 Ayat (2) UUD 1945, disamping persamaan kedudukan di hadapan hukum dan pemerintahan dan hak berserikat dan berbicara dalam Pasal 28 UUD 1945.

Keinginan menjadi negara pengurus yang satu sisi, dan menjadi negara yang menyatukan antara negara dengan rakyat dalam ‘keluarga besar’ pada sisi lain, menunjukkan bahwa dua aliran besar dalam filsafat dipilih keduanya, bersama-sama dan bersinergi. Sinergi itu memilih ide negara Indonesia merdeka dan merumuskan tujuan negara yang hendak disusun itu. Rumusan bahwa tujuan negara selain untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, merupakan sinergitas atau sintesa dari kedua aliran besar filsafat. 

Tujuan ‘memajukan kesejahteraan umum’ sebagai amanah Pembukaan UUD 1945, dirumuskan dalam Bab XIV Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial. Bab ini meliputi dua pasal, yaitu: Pasal 33 yang mengatur tentang perekonomian nasional dan Pasal 34 yang berhubungan dengan kesejahteraan sosial. Istilah kesejahteraan umum (general welfare) mempunyai pengertian yang luas, didalamnya termasuk kesejahteraan yang bersifat sosial (social welfare) dan kesejahteraan secara material (economic welfare). Istilah lain yang hampir sama (sinonim) dengan kesejahteraan umum adalah istilah kesejahteraan rakyat (people welfare). Jadi, pemakaian istilah kesejahteraan umum dalam Pembukaan UUD 1945, merupakan Pilihan yang tepat dari Pendiri Bangsa. Tepat karena sesuai dengan maksudnya bahwa kesejahteraan dalam arti lahir dan juga bathin, meliputi seluruh aspek kehidupan (dalam lapangan apapun, meminjam istilah Soepomo). Dalam praktik pemerintahan kesejahteraan umum yang mempunyai dua pengertian. Pengertian pertama diartikan sebagai kegiatan yang mempunyai cakupan yang luas dan kompleks yang berhubungan dengan aspek-aspek pendidikan, kesehatan, agama, tenaga kerja, kesejahteraan bagi penyandang mansalah sosial, dan lain-lain. Pengertian yang kedua, kesejahteraan sosial dalam arti yang sempit, yaitu sebagai lapangan yang memperhatikan hubungan masnusia (baik sebagai individu maupun dalam hubungan dengan masyarakat) dalam melaksanakan peranan sosialnya. 

Berdasarkan dua pengertian di atas, nampaknya kesejahteraan sosial dalam arti yang luas, dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan termasuk pada bidang-bidang yang ditangani oleh instansi/lembaga yang menangani ‘bidang kesra’ (dulu, kini Pembangunan Manusia dan Kebudayaan). Sedangkan kesejahteraan sosial dalam artinya yang sempit, dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan termasuk ada bidang yang biasa dilakukan oleh instansi/lembaga ‘kesejahteraan sosial’ atau ‘sosial’ atau dengan nama lain. 

Aspek Kelembagaan dan Pendekatannya

Pemberian makna yang berbeda antara kesejahteraan rakyat/umum dan kesejahteraan sosial semestinya mendapatkan kejelasan melalui suatu kebijakan yang diambil negara berdasar perundang-undangan. Bidang kesejahteraan umum/kesejahteraan rakyat, yang selama ini merupakan bidang garapan Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan harus pula dikaitkan dengan bidang-bidang perekonomian yang mempunyai kaitan penting dengan kesejahteraan rakyat. Dengan demikian maka pembidangan kementrian, kantor menteri negara dan badan Pemerintahan non-kementrian harus diubah tidak lagi pendekatan kelembagaan (struktural) tetapi menjadi pendekatan kewenangan atau fungsional. 

Oleh karena itu, ruang lingkup bidang kesejahteraan rakyat/umum termasuk bidang-bidang pendidikan, kesehatan, agama, ketenagakerjaan, penanggulangan kemiskinan, penanganan bencana, penanggulangan penyandang masalah sosial, perlindungan bagi anak, perempuan dan lansia (orang tua lanjut usia), pembinaan generasi muda, olah raga dan seni, dan kebijakan ekonomi yang berhubungan dengan masyarakat kebanyakan, dan lain-lain. Sedangkan kesejahteraan sosial sebagaimana yang selama ini diartikan sempit tetap menjadi kewenangan Kementrian Sosial secara khusus. Kebijakan negara di bidang kesejahteraan umum/rakyat sangat penting bagi negara. Kinerja pemerintahan suatu negara akan dinilai masyarakat dari kebijakan kesejahteraan rakyatnya, seperti Indeks Pembangunan Manusia (HDI).

Saat, kemenangan Partai Buruh pada saat dipimpin Blair, nampak dari caranya yang simpati menawarkan kebijakan kesehatan nasional kepada pemilih. Juga pada saat Kanselir Gerhard Schroeder dipilih rakyat Jerman, ia dapat menarik simpati rakyat dengan tawarannya memperkuat kebijakan di bidang sosial, meneruskan garis yang sudah sejak mula dipancang oleh Otto Bismarck. Fenomena kekalahan Gerhard Schroeder secara tipis dalam Pemilu 2005 dan mengharuskan pembentukan koalisi antara kubu konservatif (Uni Demokratik Kristen/Uni Sosial Kristen, CDU/CSU) yang cenderung pro-liberalisme dipimpin oleh Angela Merkel dan kubu Partai Sosial-Demokrat (SPD) dibawah Gerhard Schroeder yang ‘taat’ pada konsep kesejahteraan sosial. Kekalahan Schroeder yang tipis menunjukkan bahwa program memajukan kesejahteraan umum merupakan ‘batu uji’ bagi pemerintahan negara modern. Demikian juga saat Barack Obama memenangi Pemilu di Amerika Serikat, di masa dua periode pemerintahannya melalui ‘Obama Care’.

Pengaturan Kebijakan Bidang Kesejahteraan dalam UUD 1945 Hasil Perubahan

Berbeda dengan ketentuan UUD 1945 sebelum diamandemen, maka UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasca amandemen mengatur perihal kesejahteraan umum (people/general welfare) lebih banyak pasalnya dan lebih luas lingkupnya. Jika pengertian kesejahteraan umum/rakyat yang termasuk di dalamnya lingkup bidang kesehatan, pendidikan, penyandang masalah kesejahteraan sosial, perlindungan anak, perempuan, orang lanjut usia, bidang penyediaan perumahan dan lain-lain, maka ketentuan di dalam UUD 1945 Pasca Amandemen yang dapat dikatergorikan sebagai kaidah konstitusi bagi pengaturan negara di bidang kesejahteraan umum (people/general welfare) itu meliputi Pasal 27 Ayat (2), Pasal 28A sampai Pasal 28J, Pasal 29, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, dan Pasal 34.

Hasil amandemen UUD 1945 memberikan dasar konstitusional yang tegas mengenai keperluan negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan membudayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusian. Dalam Pasal 28 H Ayat (3) UUD 1945 disebutkan “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat”.

Maka lahirnya UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Yang menjadi dasarnya sistem jaminan sosial nasional yang bertujuan memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Melalui Program ini diharapkan setiap penduduk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak jika terjadi hal-hal yang dapat mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatan, karena menderita sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan memasuki usia lanjut, atau pension. Sistem Jaminan Sosial Nasional yang meliputi: jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian hanya salah satu saja dari program Pemerintahan untuk memajukan kesejahteraan umum di samping usaha lain yang telah dilakukan. Bidang-bidang lainnya, seperti bidang kesejahteraan sosial bagi penyandang masalah sosial, diantaranya tentang pemberian bantuan penghidupan orang jompo, tentang organisasi kemasyarakatan, tentang yayasan, tentang perlindungan anak, bidang-bidang kesehatan, bidang pendidikan, dan keolahragaan, bidang penyediaan perumahan, dan lain-lain.

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial juga hadir untuk terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Tujuan Kesejahteraan Sosial menurut UU Nomor 11 Tahun 2009 adalah: (1) meningkatkan taraf kesejahteraan, kualitas, dan kelangsungan hidup; (2) memulihkan fungsi sosial dalam rangka mencapai kemandirian; (3) meningkatkan ketahanan sosial masyarakat dalam mencegah dan menangani masalah kesejahteraan sosial; (4) meningkatkan kemampuan, kepedulian dan tanggungjawab sosial dunia usaha dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara melembaga dan berkelanjutan; (5) meningkatkan kemampuan dan kepedulian masyarakat dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara melembaga dan berkelanjutan; dan (6) meningkatkan kualitas manajemen penyelenggaraan kesejahteraan sosial.

Penegasan tujuan pembentukan pemerintahan Negara Indonesia dalam pembukaan UUD 1945, dirumuskan dalam ketentuan dalam Bab XIV Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial. Lahirnya ketentuan Pasal 28 dan adanya sistem jaminan sosial nasional dalam amandemen UUD 1945 memuat konsepsi negara kesejahteraan (Welfare State). Konsep negara kesejahteraan Indonesia, yang bukan semata-mata lahir berdasarkan asumsi dari tanggung jawab negara mengambil peran (intervensi) karena kegagalan ekonomi pasar namun lebih karena tanggung jawab yang diembannya sejak pertama didirikan sebagai negara bangsa (nation state). Hal ini yang membedakan dengan konsep welfare state sebagaimana yang dimaksud oleh negara-negara yang menganut faham liberal. Menurut konsepsi negara liberal, welfare state adalah “a liberal state which-being of its citizens through a range of interventions in the market economy, e.g. full employment policies and social welfare services.” (Ramesh Mishra, 1984) 

Bercermin pada model pengembangan model negara kesejahteraan Inggris yang komprehensif berdasar pada laporan Beveridge, maka negara kesejahteraan seyogyanya akan menyelenggarakan program-program berikut ini. Pertama, adanya sistem asuransi sosial yang menjamin semua warga negara memperoleh pendapatan sesuai standar minimal, termasuk ke dalamnya orang yang tidak mempunyai pekerjaan, sakit menahan, terluka atau telah pensiun, juga tunjangan bagi ibu dan santunan kematian. Kedua, adanya sistem bantuan sosial, meliputi tunjangan keluarga, perumahan dan bantuan nasional. Ketiga, adanya sistem nasional yang mengatur tentang pelayan-pelayan pendidikan dan kesehatan. Keempat, adanya sistem pelayanan kesejahteraan sebagai perluasan perlindungan masyarakat yang membutuhkan dengan kondisi-kondisi khusus. Pelayanan ini meliputi kesejahteraan anak, bantuan perawatan, perawatan orang jompo, cacat, lemah mental, terlantar dan orang-orang sejenis. Dalam bidang ini lembaga masyarakat memainkan peran penting. Kelima, adanya kebijakan nasional untuk memelihara tingkat lapangan kerja yang tinggi yang dapat menyerap tenaga kerja. (Francis Alappatt, 2005: 227)

Usaha menyelenggarakan kesejahteraan umum haruslah menjadi skala prioritas dalam menjalankan Pemerintahan. Selain, karena hal ini merupakan kewajiban konstitusi, namun juga di negara-negara maju menjadi dasar legitimasi dari para pemilih (rakyat). Oleh karena itu diperlukan suatu politik hukum baru dalam rangka memajukan kesejahteraan umum di Indonesia, yaityu suatu politik hukum kesejahteraan umum yang berbasis pada prinsif-prinsip yang berkarakteristik Indonesia.

Penutup

Memajukan kesejahteraan umum (general, welfare, social welfare, people welfare) merupakan kebijakan yang ditempuh oleh setiap negara tanpa memandang garis politik, ideologi dan sistem pemerintahannya. Para pendiri bangsa Indonesia telah menentukan bahwa ‘memajukan kesejahteraan umum’ merupakan juga tujuan berdirinya negara Indonesia. Kesejahteraan umum (general welfare) mempunyai pengertian yang luas, di dalamnya termasuk kesejahteraan yang bersifat sosial (social welfare) dan kesejahteraan secara material (economic welfare). Pemakaian istilah kesejahteraan umum dalam Pembukaan UUD 1945 adalah kesejahteraan dalam arti lahir dan bathin, meliputi seluruh aspek kehidupan. 

Usaha untuk memajukan kesejahteraan umum dalam Konstitusi Indonesia diatur dalam beberapa Pasal dalam UUD 1945. Dalam amandemen UUD 1945, usaha memajukan kesejahteraan umum makin ditambah jumlah pasal dan lingkup bidangnya. Ketentuan Pasal 28H dan Pasal 34 Amandemen UUD 1945 yang telah mendorong keluarnya undang-undang tentang sistem jaminan sosial nasional. Pengaturan ini mempertegas bahwa Konstitusi Indonesia menganut konsep negara kesejahteraan (Welfare State) sejak Indonesia merdeka. Bukan karena kegagalan pasar sebagaimana lahirnya konsep welfare state di Eropa dan Amerika Serikat. 

Oleh karena itu, diperlukan kehendak politik (political will) dan politik hukum (legal policy) yang baru mengenai pengaturan kebijakan untuk mewujudkan kesejahteraan umum secara lebih baik dan meluas di Indonesia yang berdasar pada karakteristik Indonesia berdasar pada Pancasila dan UUD 1945. Politik hukum ini haruslah ditempatkan sebagai politik hukum permanen, jika kita berharap Indonesia dapat terus terawat. Sebab merawat Indonesia agar tetap ada adalah dengan cara menghadirkan kesejahteraan umum bagi warganya, tanpa terkecuali. Semoga.

Padang, 16 April 2017

HUKUM UNTUK MANUSIA

Mari memulai menulis dengan menjawab pertanyaan sederhana "untuk siapa hukum itu?"

Hampir dipastikan semua menjawab bahwa "hukum itu hadir untuk manusia." Lalu mengapa dalam sejarah umat manusia seringkali ada 'aturan' yang malah membuat manusia tidak aman, tak nyaman, jauh dari rasa tenteram apalagi bahagia? Jawaban atas pertanyaan sederhana ini, yang lalu mendapat jawaban sederhana, ternyata menjadi tidak sederhana, kurang memuaskan, dangkal. Summir banget lah. Setelahnya lalu  memunculkan pertanyaan lanjutan: "mengapa hukum yang ada acapkali membuat manusia tidak mendapatkan keamanan, tak merasa kenyamanan, tenteram, bahagia atau bahkan rasa adil?"

Apa jawaban yang memuaskan utuk pertanyaan ini, mengapa hukum kerapkali tidak memberikan rasa aman, nyaman, tenteram dan bahagia? Saya mencoba menjawabnya agak panjang lebar.

Jawaban dimulai dari bahwa manusia hidup di tengah masyarakat, hidup bersama-sama dan bergaul dengan anggota masyarakat lainnya. Kecenderungan manusia hidup bersama dengan manusia lainnya. Manusia adalah makhluk yang berkecenderungan bersama-sama, berkelompok. Maka lahirlah pandangan bahwa Manusia adalah makhluk sosial (Hommo Socius), manusia adalah rekan bagi manusia lainnya.

Mengenai mengapa manusia mesti bergaul bersama rekannya? Banyak penjelasan (teori) mengenai hal ini ada yang menyebut bahwa manusia enggan kesepian, ini tentu saja dari pendekatan psikologis. Ada juga yang berpandangan dengan satu frase kata yang populer "homo socius", ini pandangan dari Aristoteles yang menyebut manusia sebagai hewan yang suka bermasyarakat atau Zoon Politikon. Lalu mengapa manusia (kudu) berhimpun dalam masyarakat dan lalu berhukum (kemudian)?

Satjipto Rahardjo, pemikir hukum Indonesia, menjawab pertanyaan ini menjelaskan penjelasan apa yang mendorong manusia berhubungan dengan manusia lainnya dalam masyarakat. Salah satu faktor yang mendorong adalah ‘pembagian sumber-sumber daya dalam masyarakat".

Lalu bagaimana pola pembagian itu dilakukan?

Menurut Satjipto Rahardjo, pada dasarnya ada dua pola pembagian sumber-sumber daya di tengah masyarakat, yakni: Pertama, yang didasarkan pada kemampuan masing-masing dan Kedua yang didasarkan pada mekanisme pembagian yang diciptakan oleh masyarakat sendiri.

Pada pola pertama, problem bagaimana orang bisa masuk ke sumber-sumber daya, dipecahkan melalui disposisi dari masing-masing orang secara alamiah. Dalam keadaan demikian maka siapa yang lebih kuat dengan sendirinya akan memperoleh jalan masuk itu dengan mengalahkan mereka yang kurang kuat. Pola pertama ini mirip dengan pengamatan Thomas Hobbes  dalam rumusan homo homini lupus, sedangkan pola kedua terjadi pada masyarakat  yang memberikan pedoman-pedoman kepada anggotanya tentang bagaimana hendaknya hubungan-hubungan antar mereka itu dilaksanakan. Pedoman-pedoman ini bisa berupa larangan maupun keharusan. Apabila hal ini dihubungkan dengan tujuan untuk memperoleh sumberdaya, maka pedoman itu memberi tahu bagaimana masing-masing anggota masyarakat itu berhubungan satu sama lain, dalam rangka memperoleh sumber-sumber daya tersebut. Suatu pasal dalam undang-undang misalnya, bahwa untuk mendapatkan suatu barang yang diinginkan orang harus melakukan perbuatan jual beli, artinya si pembeli harus bersedia untuk membayar harga yang ditentukan untuk barang tertentu. Jalan masuk untuk memperoleh sumber daya itu dilakukan dengan sarana uang.

Secara konsepsional kita akan menemukan pernyataan tentang pembagian sumber-sumber daya dalam masyarakat yang terdapat dalam peraturan perundang-undangannya yang bersifat mendasar (UUD), misalnya bahwa pada suatu negara kehidupan perekonomiannya didasarkan pada asas kebebasan berusaha, sedangkan di negara lain didasarkan pada asas kekeluargaan/kebersamaan. Beberapa hal yang dipersoalkan dalam pembagian sumber-sumber daya alam masyarakat itu antara lain:

(1) Kepada siapakah sumber-sumber daya alam masyarakat itu dibagikan?
(2) Seberapa besarkah bagian yang diberikan kepada masing-masing penerima?
(3) Apakah syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh bagian itu?

Apabila ditanyakan tentang ukuran untuk menentukan bagaimana masalah-masalah di atas dipecahkan, maka pertanyaan telah memasuki bidang keadilan. Keadilan memang dapat dirumuskan secara sederhana sebagai tolak ukur yang kita pakai untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas.

Dapat dipahami dari uraian ini, bahwa sekalipun hukum itu langsung dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan yang praktis, yaitu bagaimana sumber-sumber daya itu hendak dibagi-bagikan dalam masyarakat, tetapi ia tidak bisa terlepas dari pemikiran yang lebih abstrak, yang menjadi landasannya, yaitu pertanyaan tentang ‘mana yang adil?’ dan ‘apakah keadilan itu?’. Dan yang lebih penting adalah bahwa tatanan sosial, sistem sosial, norma sosial, serta hukum, tidak bisa langsung menggarap persoalan tersebut tanpa diputuskan terlebih dahulu melalui konsep keadilan oleh masyarakat yang bersangkutan.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan secara summir  bahwa Hukum hadir untuk Manusia. Hukum mengatur pembagian sumber-sumber daya yang ada di dalam masyarakat. Dan hukum yang 'hadir' itu, harus lah berdasarkan pada "tolok ukur" yang disepakati bersama oleh anggota Masyarakat.

Jadi Hukum yang Baik adalah  Hukum yang disepakati bersama sesuai tolok ukur (Rasa Keadilan) Masyarakat.  Dan Cara Berhukum yang Baik adalah yang sesuai dengan Cara Berhukumnya Masyarakat.


Padang, 14 April 2017



SECANGKIR "KOPI KEADILAN"



CANGKIR PEMBUKA

Keadilan itu Apa yah? 

Di bagian ini saya sebut sebagai bagian secangkir pengenalan kopi. Ada banyak konsepsi tentang keadilan sebagaimana banyak macam kopi yang biasa kita minum. Ada dua varietas yang ada di Indonesia ada Kopi Robusta (Coffea Canephora) ada Kopi Arabika (Coffea Arabica), jika dilihat dari jenisnya. Lalu dilihat dari mana asalnya, ada kopi Aceh, kopi Gayo, kopi Medan, Kopi Padang, Jambi, Kerinci, ada juga yang menyebutnya kopi Sumatera. Ada kopi Jawa, kopi Toraja, kopi Kintamani, dan lain-lain. 

Dilhat dari cara penyeduhan dan penyajian juga ada kopi 'O' ada kopi tarik, ada kopi kosong, bahkan ada kopi steng, singkatan dari kopi setengah gelas dan lain-lain. Sebagaimana kopi, maka pada bagian ini, tulisan yang seperti 'menggumam' ini hanya akan menyajikan macam-macam keadilan dari berbagai pendapat, berbagai ragam aliran pemikiran dan sudut pandang.

Istilah

Secara harafiah, istilah keadilan berasal dari kata dasar ’adil’. Istilah adil merupakan kata resapan yang berasal dari bahasa Arab ’al-adl’, aa’dilun, dengan kata jamaknya ’u’duulun’. Keadilan dalam bahasa Arab juga disebut dengan istilah, a’dlun atau qistun atau anshofun.[1]  Kamus-kamus bahasa Arab mengartikan bahwa kata ini pada mulanya berarti ‘sama’.  Persamaan tersebut sering dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat immaterial[2]. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ‘adil’ diartikan tidak berat sebelah/tidak memihak, berpihak kepada kebenaran dan sepatutnya/tidak sewenang-wenang.[3]

Debat Banyak

Hans Kelsen menulis dalam What is Law?[4] Pada bagian awal dari halaman pertama bukunya, menyebutkan bahwa Isa Almasih diutus ke dunia ini untuk memberikan kesaksian tentang kebenaran. Pilate bertanya kepada  Isa Almasih: "Apakah kebenaran itu?”. Konon Isa Almasih tidak menjawab pertanyaan Pilate, karena menurut Al Masih memberikan kesaksian tentang kebenaran bukanlah inti dari misi dan tugasnya sebagai Raja Mesiah. Dia dilahirkan ke dunia ini untuk memberikan kesaksian tentang keadilan, keadilan yang akan diwujudkan dalam kerajaan Tuhan, dan untuk keadilan inilah ia rela "wafat" di kayu salib.  (He was born to give testimony for justice, the justice to be realized in the Kingdom of God, and for this justice he died on the cross[5]).

Dalam sejarah umat manusia tidak ada satu masalah yang terus diperdebatkan dengan sengitnya (so passionately), tidak ada satu masalahpun yang menyebabkan pertumpahan darah dan meneteskan banyak air mata, tidak ada satu masalah lainpun yang menjadi objek kajian dan pemikiran yang intensif dari pemikir besar, mulai dari Plato hingga Kant, bahkan sampai sekarang, pertanyaan ini belum mendapat jawaban.[6] 

Beragam Keadilan

Keadilan ini dapat disoroti dari berbagai sudut pandangan. Keadilan dapat dilihat dari segi filsafat hukum, dari sisi etika, politik, ekonomi dan dari sisi ilmu hukum. 

Dari segi filsafat hukum, keadilan itu dicari hakekatnya sumber keberadaannya. Pertama-tama kita bisa telusuri dari karya-karya Plato dan Aristoteles. Sebagian besar pandangan mereka ini ditujukan kepada definisi yang lebih konkrit tentang pengertian ”keadilan” dan hubungannya dengan hukum positif. Plato mencoba mengasalkan konsepsinya tentang keadilan dari  ”inspirasi”, sedangkan Aristoteles mendekatinya dengan analisa yang berdasarkan ilmu dan prinsip-prinsip rasional dengan latar belakang tipe masyarakat politik dan peraturan-peraturan hukum yang ada pada waktu itu. Yang menghubungkan kedua pandangan ini adalah ”concept of virtue”, yaitu sifat baik, suatu pengertian yang mencakup segala-galanya dan keadilan merupakan suatu bagiannya. Dari concept or virtue mengalirlah pengertian ”balance” dan ”harmony”, sebagai suatu ukuran pada masyarakat dan perorangan yang adil. Plato berpendapat bahwa ”harmoni” adalah suatu keadaan balance pikiran (mind) dari dalam yang tidak dapat dianalisa oleh akal. 

Menurut Aristoteles harmoni adalah suatu yang ada di tengah-tengah antara dua keadaan yang ekstrim, pengertian harmoni ini biasa didapat dengan mempergunakan prinsip-prinsip yang mirip dasar-dasar ilmu pasti dari suatu campuran keadaan-keadaan ekstrim di pemerintahan dan hubungan antara orang dengan orang.[7] Sebenarnya pandangan Plato ini berkaitan dengan ajarannya mengenai pembagian jiwa manusia (Plato’s doctrine of the the parts of soul,[8]) yang mengatakan bahwa jiwa manusia terbagi ke dalam tiga bagian sesuai dengan kemampuan kodrati yang dimilikinya yang berbeda dengan makhluk lainnya, yaitu: (1) jalan pikiran atau akal (nous), yang merupakan  bagian rasional, (2) semangat atau keberanian (thumos), dan (3) ialah keinginan, nafsu atau kebutuhan (epithumia),[9]yang juga disebut sebagai moralitas jiwa (soul morality) atau keutamaan (excellence). Tiga jiwa manusia ini dihubungkan dengan empat kebajikan, yakni: (1) pengendalian diri, (2) keperkasaan, (3) kebijaksanaan atau kearifan, dan (4) keadilan. Pikiran atau akal dihubungkan dengan kebijaksanaan; semangat atau keberanian dihubungkan dengan keperkasaan; sedangkan keinginan, nafsu atau kebutuhan dihubungkan dengan pengendalian diri. Ketiga bagian jiwa tersebut secara keseluruhan dihubungkan dengan “keadilan” untuk memelihara keselarasan dan keseimbangan antara masing-masing bagian tersebut. Oleh sebab, itu keadilan merupakan salah satu kebajikan pokok individu dan masyarakat. Keadilan mempertautkan ketiga macam kebajikan pokok lainnya, yakni pengendalian diri dan kebijaksanaan dan kearifan. Dengan demikian bagi Plato, keadilan itu tidak dapat dihubungkan secara langsung dengan hukum atau menurut Plato keadilan bukanlah konsep hukum.[10])

Akhirnya Plato berpendapat terdapat keadilan individual dan ada keadilan dalam negara. Keadilan individual yang dimaksud oleh Plato ialah di mana individu itu dapat menguasai dan mengendalikan diri sesuai dengan panggilannya yang ditentukan oleh bakat, kemampuan dan keterampilannya. Sedangkan keadilan dalam negara didasarkan kepada kebutuhan dan keinginan manusia yang begitu banyak dan beraneka ragam dalam kehidupannya sehari-hari. Manusia tidak mampu untuk memenuhi kebutuhannya ini, tanpa bantuan orang lain, maka dengan demikian manusia itu mengadakan kerja sama dan bantuan orang lain, sesuai dengan bakat, kemampuan  dan keterampilannya dan terbentuklah negara. Negara terbentuk disebabkan adanya kebutuhan dan keinginan yang beraneka ragam. Untuk dapat memenuhi ini semua perlu ada pembagian kerja sesuai dengan bakat, bidang keahlian dan keterampilannya. Oleh karena itu,  keadilan bagi Plato, adalah pembagian kerja yang diatur oleh bakat, keahlian dan keterampilan setiap warga negara.[11]

Aristoteles sendiri dalam teori hukumnya, memformulasikan keadilan dalam distributive justice dan corrective atau remedial justice. Sampai sekarang kedua pembagian ini, masih tetap menjadi dasar dari segala diskusi mengenai keadilan.[12]Distributive justice atau keadilan yang membagi, memberi petunjuk tentang pembagian barang-barang dan kehormatan kepada masing-masing orang menurut tempat di masyarakat, keadilan distributif menghendaki perlakuan yang sama terhadap mereka yang sama menurut hukum. Corrective Justice (keadilan yang memperbaiki) adalah terutama ukuran prinsip-prinsip teknis yang mengatur administrasi hukum. Dalam mengatur hubungan-hubungan hukum, harus ada suatu ukuran umum guna memperbaiki akibat-akibat tindakan, keperluan tersebut, tindakan-tindakan harus diukur dengan suatu ukuran objektif. Pada zaman Yunani sendiri sebagaimana juga sudah diurai sebelumnya, pendapat-pendapat mengenai keadilan terlihat pada Cephalos yang mengatakan bahwa keadilan itu adalah “kejujuran”, begitu pula kata Polemarchos bahwa keadilan ialah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya, namun hal ini ditolak oleh Plato, kendatipun ia mengambil beberapa unsur dari definisi itu dalam upayanya akhirnya Thrasymachos berpendapat bahwa: keadilan tidak lain adalah keuntungan bagi orang kuat (justice is nothing but, the advantage of the stronger)[13] 

Menurut kaum teoritisi hukum alam timbul pendapat yang berbeda satu sama lain. Keadilan dipahami sebagai yang tinggi atau terakhir yang berkembang dari sifat alam semesta dari tuhan dan akal manusia. M. T. Cicero[14] mengatakan bahwa keadilan adalah suatu kebaikan yang hakiki. Ulpianus[15] berpendapat bahwa keadilan penentuan yang pasti dan mengikat untuk memberikan pada tiap orang haknya. Thomas Van Aquinas[16] mengatakan bahwa  keadilan itupun adalah kemauan, yaitu kemauan untuk memberikan setiap orang apa yang menjadi haknya. Dan iapun membedakan antara keadilan umum (justitia generalis) keadilan ini mengatur perhubungan bagian dalam terhadap keseluruhan, dan keadilan khusus (justitia distributiva) yaitu keadilan dalam menjatuhkan hukum atau ganti rugi dalam kejahatan. Hugo De Groot[17] membedakan dua macam keadilan, yaitu: keadilan yang menelusuri (justitia expletrix) dengan keadilan yang memberikan (justitia attributrix).

Bila dilihat dari sudut etiks, keadilan dapat  dianggap sebagai suatu budi pekerti individu atau sebagai satu keadaan di mana terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan atau tuntutan-tuntutan manusia secara adil dan layak.[18] Dengan pertimbangan-pertimbangan akal budi manusia, ia dapat mengetahui, mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang boleh dilakukan, mana yang adil dan mana yang tidak adil. Dimensi kehidupan manusia itu meliputi kebebasan dan tanggung jawab, kesadaran moral dan kebahagiaan. Secara kodrati manusia bebas menentukan apa yang hendak ia lakukan dalam memenuhi kebutuhannya, hanya sudah barang tentu harus memperhatikan dan tidak mengganggu kepentingan orang. Di dalam bertindak ia senantiasa dilandasi tanggungjawab moral dengan penuh kesadaran, sehingga ia dapat mencapai kebahagiaan dalam hidupnya. Keadilan juga dilihat dari sudut ilmu ekonomi dan ilmu politik, keadilan dapat dibicarakan dalam hubungan dengan keadilan sosial (social justice) sebagai suatu sistem yang menjamin dan melindungi berbagai kepentingan.[19]

Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak dibicarakan sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum. Demikian pentingnya keadilan ini. Lalu keadilan itu sendiri apa sesungguhnya? Terhadap pertanyaan apakah keadilan itu, banyak filusuf yang mencoba menjawabnya, pertanyaan ini.

Pendapat tentang Keadilan
Bagian ini akan mengulang kembali beberapa pengertian atau pandangan para filsuf dan pakar mengenai keadilan berdasarkan urutan periode waktu. pandangan ini dikemukakan dengan harapan dapat menunjukkan karakteristik pengertian keadilan yang diberikan menurut zamannya diantaranya: 
  • Menurut Cephalos filsuf Yunani, keadilan adalah kejujuran, 
  • Menurut Polemaschos seorang filsuf Yunani, keadilan adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. 
  • Plato (Yunani) berpendapat mengenai “harmoni” adalah keadaan keseimbangan pikiran (balance of mind) dari dalam yang tidak dapat dianalisa akal. Plato membedakan Keadilan Personal dan Keadilan Negara. Keadilan (dikaiosune) terletak dalam batas seimbang antara 3 bagian jiwa. 
  • Murid Plato bernama Aristoteles (Yunani) berpendapat mengenai “harmoni” sesuatu yang ada ditengah-tengah antara dua keadaan yang extrim. Keadilan adalah suatu kebijakan politik yang aturan-aturannya menjadi dasar peraturan Negara dan aturan-aturan ini merupakan ukuran tentang apa yang hak. Menurut Aristoteles orang harus menghindari dari pleonexia, atau memperoleh keuntungan bagi dirinya dengan cara merebut apa yang seharusnya diberikan kepada orang lain. Keadilan didekati dari segi persamaan: 1) Keadilan Distributif, dalam hal cara Negara atau masyarakat membagi-bagi sumberdaya kepada warganya. 2) Keadilan Corrective. 
  • Thrasymachos menyebut Justice is nothing but the advantage of the stronger (keadilan tidak lain adalah keuntungan bagi orang kuat).  
  • Ulpianus (200 SM), keadilan adalah kemauan yang bersifat tetap dan terus menerus untuk memberikan kepada setiap orang apa yang semestinya untuknya. (Iuistitia est constant et perpetua voluntas ius suum cuigue tribuendi). 
  • Keadilan Justinian adalah kebajikan yang memberikan hasil bahwa setiap orang mendapat apa yang merupakan bagiannya. 
  • Menurut MT. Cicero, keadilan adalah suatu kebaikan yang hakiki. Hugo de Groot membagi keadilan, menjadi keadilan yang menelusuri (iustitia electrix) dan keadilan yang memberikan (iustitia attributrix). 
  • Herbert Spencer mengemukakan setiap orang bebas untuk menentukan apa yang akan dilakukannya, asal ia tidak melanggar kebebasan yang sama dari orang lain. 
  • Sedangkan Roscoe Pound melihat keadilan dalam hasil-hasil konkrit yang bisa diberikannya kepada masyarakat hasil konkrit dimaksud berupa “pemuasan” kebutuhan manusia sebanyak-banyaknya dengan melakukan pengorbanan yang sekecil-kecilnya. 
  • Bagi Hans Kelsen keadilan adalah suatu tertib sosial tertentu yang di bawah lindungannya usaha untuk mencari kebenaran bisa berkembang dengan subur. Keadilan menurutnya adalah, Keadilan Kemerdekaan, Keadilan Perdamaian, Keadilan Demokrasi, Keadilan Toleransi. 
  • John Rawls mengkonsepkan keadilan sebagai fairness (justice as fairness), yang mengandung asas-asas, “bahwa orang-orang yang merdeka dan rasional yang berkehendak untuk mengembangkan kepentingan-kepentingannya hendaknya memperoleh suatu kedudukan yang sama pada saat akan memulainya dan itu merupakan syarat yang fundamental bagi mereka untuk memasuki perhimpunan yang mereka kehendaki. 
  • Dalam pandangan Nelson Mandela tidak ada arti lain bagi keadilan kecuali persamaan pribadi. 
  • Menurut John Salmond, norma keadilan menentukan ruang lingkup dari kemerdekaan individual dalam mengejar kemakmuran individual, sehingga dengan demikian membatasi kemerdekaan individu didalam batas-batas sesuai dengan kesejahteraan ummat manusia.
  • Menurut G.W. Paton, Social Justive suatu sistem yang menjamin dan melindungi berbagai kepentingan. Paton membagi dua macam kepentingan. Social Interest: a. The efficient working of the legal society, b. National Security, c. The Economic Prosperity of Society, d. The protection of religions, moral, humanitarian, and intelectual values, e. Health and racial integrity. Private Interest, termasuk (1) Physical protection, (2) freedom of person, (3) freedom of the will, (4) liberty of thought and speech, (5) liberty of association, (6) protection of name and privacy, (7) protection of mind and feelings, dan (8) reputation. Family Interest, termasuk (1) husband and wife (2) parent and child Economic Interest (1) prosperity (2) right rorely on the representations or promised of others, (3) professional activities dan (4) economic security. Political Interest (1) the right to vote dan (2) the right to be elected.[20] 
  • Keadilan berhubungan dengan perbincangan tentang Keadilan Sosial (Social Justice) sebagai suatu sistem yang menjamin dan melindungi berbagai kepentingan yag ada dalam masyarakat.
  • Jika kita perhatikan dari sudut ilmu ekonomi,[21] keadilan sangat banyak di kaitkan dengan aliran utilitarisma yang mengajarkan tentang kebahagiaan dan kenikmatan hidup orang banyak.  Richard A-Posner dalam the Economic of Justice menyebutkan adanya kaidah ekonomi (economic norm) yang disebut “wealth maximation”. 
  • Dari sudut ilmu politik keadaan berkaitan dengan tujuan Negara misalnya pandangan Charles E. Merriam dalam buku “Systematic Politics” yang menyebutkan lima hal yang menjadi tujuan Negara: 1. External Security, 2. Internal Order, 3. Justive, 4. General Welfare, 5. Freedom. Dari sudut Ilmu Hukum Berbicara pelaksanaan keadilan (administration of justice) yang mempunyai makna mengatur relasi-relasi dan menerbitkan kelakuan manusia didalam proses pengadilan-pengadilan dari masyarakat (yang berorganisasi) politik.
  • Menurut Filsafat Hukum (aliran dan muzhab)[22], keadilan adalah hubungan ideal antar manusia, (a) Aliran Natural Law, keadilan dalam rasio Tuhan, (b) Historical Jurisprudence, keadilan diwujudkan dalam jiwa bangsa (volksgeist), (c) Sociological Jurisprudence: Keadilan diwujudkan dalam “Living Law”, (d) marxist Jurisprudence, keadilan dalam “class idiology”, (e). Legal Positivism, keadilan dalam kepastian undang-undang. 
Secangkir Kopi saja sudah membuat kita melayang, kemana-mana. Oke mending kita hentikan dulu. Kita lanjut mengopi di lain waktu.

Pagi ,15 April 2017





[1] M. Kasir Ibrahim, Kamus Arab Indonesia dan Indonesia Arab, (Surabaya: Appolo, 1996), hlm. 260.
[2] M. Quraish Shihab, Wawasan Qur’an,  Cetakan II (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 11.
[3] Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), hlm. 8.
[4] Hans Kelsen, What is Law? Justice, Law, and Politics in The Mirror of Science, Collected Essays by Hans Kelsen, (Barkeley dan Los Angeles: University of California), 1957.
[5] Hans Kelsen, What is Law? ibid., hlm. 1.
[6] Ibid.
[7] Thoga Hutagalung, Peranan Hukum dan Keadilan dalam Pembangunan Masyarakat yang Sejahtera, (Bandung: Armico, 1993).
[8] Ibid
[9] Ibid
[10] Ibid
[11] Ibid
[12] Ibid
[13] J.H. Rapar sebagaimana dikutip oleh Thoga H. Hutagalung, Ibid.
[14] George H.Sabine sebagaimana dikutip oleh Thoga Hutagalung, Ibid
[15] Ibid, hlm 169
[16] Ibid, hlm. 246
[17] Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: Kanisius, 1995) , hlm. 62.
[18] Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar, op. cit., hlm 17
[19] George W. Paton, loc. cit. hlm.101. et seq. Sebagaimana dikutip oleh Thoga H. Hutagalung.
[20] Thoga Hutagulung, ibid
[21] Ibid
[22] Ibid

SETEGUKAN “KOPI KEADILAN" RASA RAWLS

Siang ini saya baru saja sampai di kampus S1 Ilmu Hukum, jadwal mengajar di Program Magister Hukum Jam 14.00 WIB.  Sementara di luar ratusan mahasiswa S1 sedang sibuk Ujian Tengah Semester (UTS), sebagian lainnya tengah urus Kartu Rencana Ujian (KRU). 
Namun WA dari senior Prof Dr. Nandang Alamsyah Deliarnoor,SH,M.Hum., yang mengirimkan Sampul Buku John Rawls, membuat pikiran melayang untuk menuliskan barang setegukan saja. Yah seteguk saja Teori Keadilan Menurut Pemikir Modern ini. Lha di sela-sela membimbing Proposal Tesis Donny Putra, persetujuan Tesis Dimas Agung dan Herly Bastian, saya menuliskan pandangan Rawls tentang Keadilan.

Mengenal John Rawls

Prof. John Rawls, lebih dari sekedar akademisi. Ia seorang filosof politik kontemporer yang dikenal oleh kalangan akademisi dengan teorinya tentang keadilan. Robert Nozick rekan sekampus dan oponent penting Rawls menyebut teori Rawls tentang Keadilan dalam buku ‘A Theory of Justice’ sebagai karya ‘…yang tidak pernah terlihat lagi sejak karya-karya John Stuart Mill, atau sebelumnya’.[1]

John Rawls, dilahirkan di Baltimore, Maryland Amerika Selatan pada tanggal 21 Februari 1921. John Rawls, adalah putra dari pasangan William Lee Rawls dan Anna Abel Stump.[2]
Selepas menyelesaikan studi pada Kent School tahun 1939, Rawls memperoleh gelar BA pada Princeton University tahun 1943 (dalam usia 22 tahun). Gelar Ph.D diselesaikan juga pada Princeton University pada tahun 1950 (dalam usia 29 tahun) dengan disertasi berjudul "A Study in the Grounds of Ethical Knowledge: Considered with Reference to Judgments on the Moral Worth of Character.” [3]

Setelah memperoleh gelar Ph.D, Rawls sempat mengikuti program Fullbrigt Fellow di Oxford University pada 1952-1953. Karier akademiknya dimulai ketika Rawls menjadi instruktur pada Princeton University (1950-1952), lalu menjadi assisten dan assosiate professor pada Cornel University dimana ia kemudian menjadi full professor pada tahun 1962. Mulai tahun 1979 Rawls menjadi professor of philosophy pada Harvard University.[4]
Rawls menjadi sangat termasyur pada tiga dekade terakhir ini (1971-200-an) pada saat menerbitkan bukunya A Theory of Justice, pada tahun 1971. Buku setebal lebih dari 600 halaman ini mendapat sambutan luas, dibicarakan, didiskusikan diberbagai forum dan mimbar ilmiah.

Gagasan utama Rawls “Justice as Fairness” yang dituangkan dalam ‘A Theory of Justice’ sebenarnya telah diterbitkan dalam bentuk artikel tahun 1957[5] dan 1958 [6]. Gagasan Rawls tentang keadilan ini, pada tahun-tahun berikutnya kerapkali menjadi tema utama dari bahasan Rawls pada banyak artikel.

Menjadi pertanyaan kemudian mengapa teori Rawls tentang keadilan ini menjadi gagasan yang banyak dibaca orang, lalu mendapat pujian di samping juga kritik. Perkembangan masyarakat dunia di satu sisi dan kesadaran moralitas politik kaum elit politik dan intelektual disisi lain, pada awal hingga paruh pertama abad 20, sungguh mendasari munculnya gagasan Rawls.

Pada awal memasuki abad 20, dunia mengalami banyak kekacauan politik dan sosial, juga ketidakpastian yang dibawa oleh perkembangan IPTEK, kapitalisme, fasisme dan totaliterianisme, bangkitnya nasionalisme, dan perang dunia. Perkembangan ini membangkitkan semacam kesadaran perlunya pembaharuan komitmen terhadap moralitas politik. Pengalaman dari dua kali Perang Dunia mempertajam kembali perhatian terhadap posisi manusia sebagai makhluk moral didalam tata sosial dan tata politik. Namun sampai lebih separuh pertama abad ke- 20 filsafat politik tidak memperlihatkan perkembangan istimewa ikut terseret dan terperangkap dalam kontroversi ideologi Perang Dingin. Keadaan itu berubah setelah Rawls menerbitkan ‘A Theory of Justice’.[7]  

Setelah ‘A Theory of Justice’ diterbitkan, wacana filsafat politik mengalami perkembangan dan orientasi baru, bergerak meluas dari tema sentral keadilan sosial ke masalah hak, kebebasan, human subject, komunitas, dan teori moral sendiri. ‘A Theory of Justice’, Juga memperkaya tema-tema tradisional seperti masalah legitiminasi, kekuasaan, hakikat hukum dan lainnya.[8]

Rawls meninggal dalam usia 81 tahun pada tanggal 24 November 2002 dengan meninggalkan gagasan besarnya mengenai keadilan dalam dua buku yang merupakan masterpiece-nya yaitu: ‘A Theory of Justice’ (1971) dan ‘Political Liberalism’ yang terbit lebih dari dua puluh tahun kemudian setelahnya.[9] Sekali pun Rawls telah wafat gagasan Rawls terntang keadilan telah mampu menghidupkan kembali tradisi teori normatif dalam filsafat politik yang sempat tenggelam oleh dominasi aliran positivisme-logis yang menyingkirkan pendekatan normatif dalam filsafat dan sains.[10]

Racikan (Dasar) Teori Keadilan John Rawls
Teori Keadilan menurut John Rawls, dipandang sebagai teori keadilan paling komprehensif[11]. Teori Rawls sendiri dapat dikatakan berangkat dari pemikiran Utilitarianisme. Teori keadilannya banyak sekali dipengaruhi pemikiran Jeremy Bentham, J.S.Mill, dan Hume, yang dikenal sebagai tokoh-tokoh Utilitarianisme. Sekalipun demikian, Rawls sendiri lebih sering dimasukkan dalam kelompok penganut Realisme Hukum. Rawls berpendapat perlu ada keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama. Bagaimana ukuran dari keseimbangan itu harus diberikan, itulah yang disebut dengan keadilan. Keadilan merupakan nilai yang tidak dapat ditawar-tawar karena hanya dengan keadilanlah ada jaminan terhadap stabilitas hidup manusia. Agar tidak terjadi benturan kepentingan pribadi dan kepentingan bersama itu, perlu ada aturan-aturan. Di sinilah diperlukan hukum sebagai wasitnya. Pada masyarakat yang telah maju, hukum baru akan ditaati apabila masyarakat itu sendiri mampu meletakkan prinsip-prinsip keadilan.

Hukum, menurut pendapat Rawls, dalam hal ini tidak boleh dipersepsikan sebagai wasit yang tidak memihak dan bersimpati dengan orang lain, sebagaimana diajarkan Utilitarianisme, karena hal itu tidaklah cukup. Menurut Rawls, hukum justru harus menjadi penuntun agar orang dapat mengambil posisi dengan tetap memperhatikan kepentingan individunya. Rawls melihat, dalam kenyataannya, distribusi beban dan keuntungan sosial, seperti pekerjaan, kekayaan, sandang, pangan, papan, dan hak-hak asasi, ternyata belum dirasakan seimbang. Faktor-faktor seperti agama, ras, keturunan, kelas sosial, dan sebagainya, menghalangi tercapainya keadilan dalam distribusi itu. Rawls mengatakan, hal itu tidak lain karena struktur dasar masyarakat yang belum sehat. Untuk itu Rawls menganjurkan agar dilakukan reorganisasi (call for redress) sebagai syarat mutlak untuk menuju kepada suatu masyarakat ideal yang baru.[12]

Jika di bidang utama keadilan adalah struktur dasarnya masyarakat, problem utama keadilan, menurut Rawls, adalah merumuskan dan memberikan alasan pada sederet prinsip-prinsip yang harus dipenuhi oleh sebuah struktur dasar masyarakat yang adil. Prinsip-prinsip keadilan tersebut harus mendistribusikan prospek mendapatkan barang-barang pokok. Menurut Rawls, kebutuhan-kebutuhan pokok meliputi hak-hak dasar, kebebasan, kekuasaan, kewibawaan, kesempatan, pendapatan, dan kesejahteraan. Jadi dalam kerangka dasar struktur masyarakat, kebutuhan-kebutuhan pokok (primary goods) terutama dapat dipandang sebagai sarana mengejar tujuan dan kondisi pemilihan yang kritis serta seksama atas tujuan dan rencana seseorang. Jika diterapkan pada fakta struktur dasar masyarakat, prinsip -prinsip keadilan harus mengerjakan dua hal; yaitu:

  1. prinsip keadilan harus memberi penilaian konkret tentang adil tidaknya institusi-institusi dan praktik-praktik institusional.
  2. Prinsip-prinsip keadilan harus membimbing kita dalam mengembangkan kebijakan-kebijakan dan hukum untuk mengoreksi ketidakadilan dalam struktur dasar masyarakat tertentu

Rawls sendiri tidak menginginkan masyarakat seperti ini diwujudkan secara mendadak. Menurutnya, banyak orang memerlukan pendidikan sebelum mereka dapat menikmati kekayaan dan kebudayaan yang tersedia bagi manusia zaman sekarang. Di lain pihak, keyakinannya teguh bahwa hidup bermasyarakat harus diberikan suatu aturan baru, agar kekayaan dunia dibagi secara lebih merata. Menurut Huijbers,[13] dengan menegaskan bahwa pembagian kekayaan dunia kurang adil. Rawls tidak bermaksud menyatakan bahwa pembagian alamiah tidak adil, seperti perbedaan ras, agama, dan warna kulit. Situasilah menyebabkan pembagian itu tidak adil, sehingga dengan demikian, untuk menciptakan masyarakat yang adil perlu diperiksa kembali mana prinsip-prinsip keadilan yang dapat digunakan untuk membentuk suatu masyarakat yang baik. 

Mensyaratkan Posisi Asali (The Original Position)

Karena masyarakat belum diatur dengan baik, orang-orang harus kembali kepada posisi asli mereka untuk menemukan prinsip-prinsip keadilan yang benar. Posisi asli (original position)  ini adalah keadaan di mana manusia berhadapan dengan manusia lain sebagai manusia.[14]
Posisi asli  yang dimaksud oleh Rawls ini bersifat hipotetis[15] sebagai abstraksi dari keyakinan etis masing-masing. Abstraksi ini juga harus dilandasi kejujuran. Dengan bertolak dari posisi asli inilah orang dapat sampai pada suatu persetujuan asli (original agrement) tentang prinsip-prinsip keadilan yang menyangkut pembagian hasil hidup bersama.
Ada tiga syarat supaya manusia dapat sampai pada posisi aslinya, yakni: (1) diandaikan bahwa tidak diketahui, manakah posisi yang akan diraih seorang pribadi tertentu dikemudian hari. Tidak diketahui manakah bakatnya, intelegensinya, kesehatannya, kekayaannya, rencana hidupnya, keadaan psikologisnya, tua atau muda, dan manakah situasi sosial, politik, ekonomi, budaya masyarakat di mana ia akan hidup. Justru karena abstraksi dari segala sifat individualnya orang mampu untuk sampai pada suatu pilihan tentang prinsip-prinsip keadilan. (2) Diandaikan bahwa prinsip-prinsip keadilan dipilih dengan semangat keadilan, yakni dengan kesediaan untuk tetap berpegang pada prinsip-prinsip yang telah dipilih. Sikap ini perlu oleh karena sasaran-sasaran individual yang dituju harus dibagi rata antara banyak orang, dan pasti tidak semua orang akan menerima apa yang mereka inginkan. Sikap ini sebenarnya bertepatan dengan sikap rasional yang dapat diharapkan dari seorang yang bijaksana. Seorang bijaksana. Seorang bijaksana akan mengerti bahwa semua orang sungguh-sungguh berusaha memperhatikan kepentingan bersama secara dewasa. Ia tidak akan merasa iri hati terhadap orang lain, sekurang-kurangnya tidak selama perbedaan antara dia dan orang lain tidak melampui batas-batas tertentu. Dan (3) Diandaikan bahwa tiap-tiap orang pertama-tama mengejar kepentingan individualnya dan baru kemudian kepentingan umum. Hal ini wajar oleh karena orang ingin berkembang secara pribadi dan ingin memperhatikan kepentingan orang-orang yang dekat, yakni anak cucu. Seandainya seorang tidak peduli mengenai diri sendiri, pasti akan dicari keuntungan pertama-tama bagi sanak saudaranya. Dalam menemukan prinsip-prinsip keadilan kecenderungan manusia ini harus diperhitungkan juga.[16]

Prinsip Keadilan Menurut Rawls

Rawls mengakui bahwa kecenderungan manusia untuk mementingkan diri sendiri merupakan kendala utama dalam mencari prinsip-prinsip keadilan itu. Apabila dapat menempatkan diri pada posisi asli itu, manusia akan sampai pada dua prinsip keadilan yang paling mendasar sebagai berikut:[17]
1.       prinsip kebebasan yang sama sebesar-besarnya (principle of greatest equal liberty). Menurut prinsip ini setiap orang mempunyai hak yang sama atas seluruh keuntungan masyarakat. Prinsip ini tidak menghalangi orang untuk mencari keuntungan pribadi asalkan kegiatan itu tetap menguntungkan semua pihak. Huijbers memberi contoh, apabila dengan kegiatan pribadi saya dapat memperoleh keuntungan 100, dan jumlah itu, teman saya mendapat 20, sedangkan saya 80, maka hal itu tetap dianggap adil. Lebih baik kita semua mendapat untung daripada tidak ada untung sama sekali. Priyono menyebut beberapa prinsip kebebasan dalam hal ini adalah kebebasan untuk berperan serta dalam kehidupan politik (hak bersuara, hak mencalonkan diri dalam pemilihan); kebebasan berbicara (termasuk kebebasan pers); kebebasan menjadi diri sendiri (person); hak untuk mempertahankan milik pribadi.
2.      Prinsip ketidaksamaan, yang menyatakan bahwa situasi perbedaan (sosial ekonomi) harus diberikan aturan sedemikan rupa sehingga paling menguntungkan golongan masyarakat yang paling lemah (paling tidak mendapat peluang untuk mencapai prospek kesejahteraan, pendapatan, dan otoritas). Rumusan prinsip kedua ini sesungguhnya merupakan gabungan dari dua prinsip, yaitu prinsip perbedaan (difference principle) dan prinsip persamaan yang adil atas kesempatan peluang (the principle of fair equalty of opportunity).
Secara keseluruhan, berarti ada tiga prinsip keadilan yang dikemukakan oleh Rawls, yaitu prinsip: (1) kebebasan yang sama yang sebesar-besarnya, (2) perbedaan, dan (3) persamaan yang adil atas kesempatan. Tentu saja, tidak semua prinsip-prinsip keadilan ini dapat diwujudkan bersama-sama karena dapat terjadi prinsip yang satu berbenturan dengan prinsip yang lainnya. Untuk itu Rawls memberikan prioritas. Prioritas pertama menetapkan bahwa prinsip kebebasan yang sama sebesar-besarnya secara klasikal berlaku lebih dulu daripada prinsip kedua dan ketiga. Hanya setelah kebebasan diagungkan sepenuhnya, kita dapat bebas pula mengarahkan usaha mengejar tuntutan yang terdapat dalam prinsip berikutnya. Selanjutnya, prioritas kedua merupakan relasi antara dua bagian prinsip keadilan yang kedua (yaitu antara prinsip) menurut Rawls, prinsip persamaan yang adil atas kesempatan secara leksikal berlaku lebih dulu daripada prinsip perbedaan.[18] Huijbers mencatat bahwa perbedaan antara teori Utilitarianisme dengan teori Posisi asli dari Rawls ini cukup mencolok. Utilitarianisme membawa kearah suatu maksimum penggunaan barang bagi suatu komunitas (average utlity, dihitung perkapita), sedangkan teori Posisi Asli membawa ke arah suatu maksimum penggunaan barang secara merata dengan tetap memperhatikan kepribadian tiap-tiap orang. 

Pengaruh Teori Keadilan Rawls Bagi Pemikiran Politik Kontemporer

           Mengenai besarnya pengaruh Rawls, khususnya pengaruh ‘A Theory of Justice’, dapat dijumpai dihampir semua buku mengenai filsafat politik kontemporer. Utamanya ketika membahas keadilan dan yang terbit sejak akhir tahun 1970-an. Rekan Rawls,  Robert Nozick dalam bukunya ‘Anarchy, State and Utopia’, yang terbit tahun 1974 memuji buku A Theory of Justice’nya Rawls sebagai sumber mata air ide-ide. Lebih lengkap Nozick memuji dengan kalimat[19]:
“A Theory of Justice adalah sebuah karya filsafat politik dan filsafat moral yang kuat, dalam, subtil, luas, sistematik, yang tidak pernah lagi terlihat sejak karya-karya John Stuart Mill, atau sebelumnya. Buku ini merupakan taman mata air ide-ide, terintegrasi bersama dalam satu kesatuan yang bagus. Para pemikir filsafat politik sekarang harus bekerja dari dalam teori Rawls, atau harus menjelaskan mengapa tidak. Pemikiran-pemikiran dan sanggahan-sanggahan yang sudah kita kembangkan diterangi oleh atau membantu menerangi presentasi konsepsi alternatif adikarya Rawls. Bahkan, mereka yang belum jugaberhasil diyakinkan setelah bergulat dengan visi sistematik Rawls akan belajar banyak dari membacanya … Adalah mustahil membaca karya Rawls tanpa banyak terkawinkan, mungkin terubahkan, ke dalam pandangan kita sendiri yang diperdalam. Adalah mustahil menyelesaikan bukunya tanpa suatu visi baru dan terinspirasi oleh apa yang teori moral boleh lakukan dan himpun; betapa keseluruhan teori begitu indah. Saya mengizinkan diri sendiri berkonsentrasi di sini untuk tidak setuju dengan Rawls semata-mata karena saya yakin para pembaca saya akan menemukan sendiri banyak keutamaan di dalamnya.”
Pengaruh pandangan deontologis[20] Rawls secara langsung maupun tidak langsung telah terserap masuk pula ke beberapa disiplin lain. Psikologi Lawrence Kohlberg secara eksplisit telah menggunakan kerangka universalisme Rawls sebagai dasar untuk menyusun teori perkembangan moral lintas budaya. Teori Rawls juga telah memberikan semacam basis normatif bagi wacana-wacana baru ekonomi dan sosial yang mempertimbangkan keadilan, demokrasi, bahkan peran positif negara. Dalam wacana ekonomi, Amitai Etzioni, meski tidak sepenuhnya mengambil tempat di belakang Rawls, telah menggunakan apa yang disebutnya sebagai “paradigma deontologis” untuk menghadapi dominasi paham neoklasik yang tidak memberi ruang bagi dimensi moral dan selamanya memandang negatif peran negara.

Demikian juga dengan Amartya Sen, seorang penerima hadiah Nobel untuk ilmu ekonomi, sejalan dengan semangat deontologi Rawls yang meletakkan prioritas kemerdekaan (the priority of liberty), menekankan keberhasilan pembangunan ekonomi bukan hanya terkait dengan meningkatnya kemakmuran dan menyusutnya kemiskinan, melainkan terutama dengan meningkatnya kebebasan. Semangat Rawlsian bahkan telah meresapi program-program partai-partai sosial demokrat Eropa pasca perang khususnya berkenaan dengan masalah distribusi kesejahteraan dan pendapatan. Lebih dari sekadar pengaruh teoretis, filsafat politik akademik Rawls rupanya menawarkan nilai praktisnya juga.

Sebenarnya Rawls telah menyiapkan ‘A Theory of Justice’nya jauh sebelum tahun 1971[21]. Bahkan sejak tahun 1950-an[22] melalui artikel-artikelnya yang bereaksi, baik terhadap hegemoni aliran positivisme-logis dalam filsafat pada umumnya, maupun terhadap utilitarianisme dalam filsafat politik. Aliran positivisme-logis yang dominan sejak akhir Perang Dunia II berhasil meyakinkan publik bahwa hanya ada dua hal yang penting dalam dunia modern, yakni riset empiris dan analisis konseptual. Sains menjalankan tugas yang pertama, sedangkan filsafat yang kedua. Akibatnya, filsafat moral dan politik menjadi sekedar analisis konsep-konsep moral dan politis, dan bagaimana bahasa mengekspresikan konsep-konsep tersebut. Aspek analitis ditekankan, sementara aspek normatif dan preskriptif dikesampingkan.

Tema-tema pokok filsafat politik seperti keadilan sosial, kebebasan berpendapat, persamaan derajat manusia dan pluralisme agama tidak dihargai lagi sebagai wacana dalam filsafat. Dominasi positivisme-logis mengakibatkan filsafat politik dianggap wacana yang kurang penting dibandingkan logika dan epistemologi. Tidak mengherankan bahwa pada tahun 1950-an banyak ahli filsafat mengeluhkan bahwa filsafat politik telah mati.[23]

Melawan kecenderungan dominasi positivisme-logis  ini Rawls[24] menekankan kembali pentingnya pertanyaan normatif yang mendasar seperti: apa syarat-syarat untuk mewujudkan masyarakat yang adil?  Dia menghidupkan kembali tradisi teori besar dalam filsafat politik untuk memberi justifikasi terhadap keyakinan etis secara rasional. Dalam hal ini dia menggunakan metode justifikasi yang diasosiasikan dengan Sokrates, Aristoteles dan Sidgwick. Dia mengatakan bahwa pada saat kita menjelaskan keyakinan etis kita, kita berusaha mengidentifikasikannya dengan keyakinan yang paling mendalam dan bisa dipertanggungjawabkan (Misalnya keyakinan bahwa perbudakan itu salah). Kemudian kita menguji keyakinan tersebut dengan menggunakan teori-teori etika yang kita kenal dan mencari kerunutan dan kecocokan dalam pertimbangan kita secara keseluruhan. Pertimbangan ini kadang-kadang bisa menghasilkan suatu teori yang meyakinkan. Sebaliknya, teori-teori sering kali harus diperbaharui atau ditolak sejalan dengan tingkat kegagalan mereka menyesuaikan diri dengan pertimbangan tersebut.

Menurut Antonius Widyarsono[25], Rawls yakin bahwa karyanya hanya menghasilkan salah satu dari teori-teori yang dibuat dengan proses seperti di atas itu. Tapi dia juga yakin bahwa teorinya lebih unggul daripada teori-teori lain yang sudah kadaluwarsa. Dalam hal ini dia terutama mengacu pada aliran yang dominan dalam filsafat politik liberal pada saat itu, yakni utilitarianisme. Utilitarianisme merupakan teori politis dalam liberalisme yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill pada abad ke-19. Prinsip utama dalam utilitarianisme adalah memaksimalkan kebaikan/kebahagiaan yang paling besar bagi sebanyak mungkin orang. Dalam politik hal ini berarti memaksimalkan kesekahteraan umum, kalau perlu dengan mengorbankan kebebsan individu. Menurut Rawls, utilitarianisme telah gagal memberi tempat pada keyakinan umum bahwa setiap individu harus dihargai dan tidak boleh dilanggar hak-hak asasinya demi kepentingan yang lebih besar, termasuk demi kepentingan umum (Misalnya, utilitarianisme melarang perbudakan bukan karena tidak adil, tapi hanya karena tidak efisien).

Berlawanan dengan utilitarianisme Rawls mengembangkan teori keadilannya dari ide bahwa hak-hak asasi individu tidak boleh dilanggar dengan alasan apapun. Untuk itu dia menggunakan tradisi teori kontrak sosial-Hobbes, Locke, Rousseau dan Kant- sebagai dasar argumentasi bagi prinsip-prinsip dasar teori keadilan. Dalam dua prinsip dasar keadilannya Rawls berusaha mengintegrasikan kritisisme sosialis kaum Marxis (prinsip kesamaan) kedalam teori liberal (prinsip kebebasan). Itulah sebabnya karya utama Rawls menjadi karya yang banyak didiskusikan baik oleh kaum liberal, maupun kaum Marxis. Menurut Kimlicka, “Teorinya mendominasi debat-debat kontemporer, bukan karena setiap orang menerimanya, tapi karena pandangan-pandangan alternatif sering kali diungkapkan sebagai reaksi terhadap teorinya itu”. (Kimlicka 2002: 10).[26]

Karena Rawls menggunakan tradisi teori kontrak sosial-Hobbes, Locke, Rousseau dan Kant- sebagai dasar argumentasi bagi prinsip-prinsip dasar teori keadilannya. Beberapa penulis memberikan sebutan yang beragam mengenai aliran filsafat (teori) yang dianut Rawls. Beberapa artikel dalam buku ‘A Companion to Philosophy of Law and Legal Theory’[27], misalnya Jeremy Waldron, professor University of California at Berkeley, menyebut John Rawls sebagai exponent modern Rousseauian approach.[28] Alexander Somek dari University of Viena menyebut ahli yang mengenalkan ‘contractarian teories of justice.’[29] Dan George P Fletcher, professor of Jurisfrudence at Columbia University School of Law, New York, menyebut Rawls teori keadilan sebagai ‘the version of the Kantian Theory’.[30]
Sruputan Penutup

Tulisan sepeminuman kopi menjelang siang hari sembari menunggu perkuliahan ini, saya tutup dengan beberapa catatan akhir:
Pertama, “teori keadilan John Rawls merupakan teori sosial politik kontemporer yang menjelaskan prinsip-prinsip keadilan yang relatif paling lengkap dibanding dengan beberapa teori keadilan lainnya.
Kedua, Teori keadilan Rawls sangat penting untuk menjelaskan bagaimana masyarakat yang terkait politik yang modern dan demokratis dewasa ini.
Ketiga, dalam konteks pembentukan hukum di Indonesia, baik melalui pembentukan peraturan Perundang-undangan maupun Putusan Hakim di Indonesia, teori Ralws tentang keadilan penting karena dua hal: (a) prosedur pencapaian atau pencarian konsensus yang menempatkan individu sama peluangnya dan (b) mengakui ada ketimpangan dalam masyarakat yang harus mendapat prioritas perhatian dalam Pembentukan Hukum.
Keempat, pelajaran berharga dari teori Ralws adalah, pembentuk hukum, baik melalui Hakim maupun Pembentuk undang-undang harus memberikan perlindungan yang memadai bagi masyarakat minoritas yang mempunyai akses yang kecil terhadap sumber-sumber daya dalam masyarakat. Masyarakat minoritas, masyarakat miskin, atau  kelompok kepentingan yang lemah harus diperhatikan dan menjadi dasar pertimbangan dalam pengambilan putusan pada saat pembentukan hukum. Tanpa itu semua esensi Hukum untuk Manusia, Fungsi hukum untuk Ketentraman Bersama dan tujuan Hukum Keadilan Bagi Semua (Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia, Social Justice)

Padang, 15 April 2017








[1] Bur Rasuanto, Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas Dua Teori Filsafat Politik Modern, (Jakarta: Gramedia, 2005), hlm. 25
[2] www.bookrags.com/biography/john-rawls
[3] http://sun3.lib.uci.edu/~scctr/philosophy/rawls.html
[4] www.bookrags.com/biography/john-rawls
[5] "Justice as Fairness." Journal of Philosophy (October 24, 1957), 54(22):653-662, lihat http://sun3.lib.uci.edu/~scctr/philosophy/ rawls.html
[6] "Justice as Fairness." Philosophical Review (April 1958), 67(2):164-194 dalam: http://sun3.lib.uci.edu/~scctr/philosophy/rawls.html
[7] Bur Rasuanto, Op. Cit., hlm 25.
[8] Bur Rasuanto, Op. Cit., hlm 26.     
[9] Political Liberalism. The John Dewey Essays in Philosophy, 4. New York: Columbia University Press, 1993.
[10]   Antonius Widyarsono, Memprioritaskan Op. Cit.,Hak di Atas Konsep Keabikan dalam Pemikiran Rawls Yang Kemudian, dalam Jurnal Pemikiran Sosial Politik, Demokrasi dan Hak Asas Manusia Jurnal DIPONEGORO74, (Tahun VIII/2000 No. 11 Februari-Mei 2004), hlm. 43.
[11] Dardji Darmodihardjo dan Sidharta, ibid.
[12] Theo Huijbers, op. cit. hlm.195.
[13] Theo Huijbers, op. cit. hlm.  195.
[14] Ibid, hlm. 197.
[15] Rawls, A Theory of Justice, op. cit.,  hlm. 21 memberi penekanan dengan kalimat “I  have amphasized that this original position is purely hypothetical.”
[16] Theo Huijbers, op. cit.,  hlm. 198;  Dalam Rawls dapat dibaca pada angka 24. The Veil of Ignorance, hlm. 136-142 dan angka 25. The Rationality of The Parties, hlm. 142-150, lihat  Rawls, A Theory of Justice, op. cit. Juga dalam Theo Huijbers, op,cit, hlm 190.
[17] Theo Huijbers, Ibid, hlm. 200; Prijono, op. cit. hlm. 38.
[18] Prijono, ibid, hlm 40; juga Theo Huijbers, ibid, hlm 201.
[19] Bur Rasuanto, Keadilan Sosial….Op. Cit.,  hlm. 27. 
[20] Ibid, hlm. 28.
[21] Ketika pertama kali buku ini diterbitkan oleh Cambridge, Massachusetss: Belknap Press of Harvard University Press. Kemudian pada tahun 1972 diterbitkan oleh Oxford: Larendon Press, 1972.
[22] Misalnya ketika Rawls menulis ‘Justice as Fairness’  dalam Journal of Philosophy (October 24, 1957) kemudian dalam Philosophical Review  (April 1958). Lihat dalam A Selected Bibliography Compiled by Eddie Yeghiayan, sumber:  http://sun3.lib.uci.edu/scctr/philosophy/rawls.html.
[23] Pada pertengahan tahun enanm puluhan bahkan Isaiah Berlin secara retorik menyetakan mengenai ‘matinya teori politik’ sebagai perlawanan simbolik terhadap dominasi positivisme dalam filsafat politik. Selanjutnta Berlin memproklamirkan peralihan politik normatif. Dan peralihan normatif ini menemukan puncaknya pada tahun 1971 dengan diterbitkannya A Theory of Justice oleh John Rawls, lihat dalam Robertus Robet, Argumen dan Krtitik: Demokrasi Deliberatif Habermas, dalam Jurnal Pemikiran Sosial Politik, Demokrasi dan Hak Asas Manusia Jurnal DIPONEGORO74, (Tahun VIII/2000 No. 11 Februari-Mei 2004), hlm. 72.
[24] Antonius Widyarsono, Memprioritaskan …. Op. Cit., hlm. 44.
[25] Ibid, hlm. 45.
[26] Ibid
[27] Dennis Patterson (editor), A Companion to Philosophy of Law and Legal Theory, (Blackwell Publishing, 2003).   
[28] Ibid,  hlm. 19.
[29] Ibid., hlm. 352.
[30] Ibid., hlm. 527.