Sabtu, 15 April 2017

SECANGKIR "KOPI KEADILAN"



CANGKIR PEMBUKA

Keadilan itu Apa yah? 

Di bagian ini saya sebut sebagai bagian secangkir pengenalan kopi. Ada banyak konsepsi tentang keadilan sebagaimana banyak macam kopi yang biasa kita minum. Ada dua varietas yang ada di Indonesia ada Kopi Robusta (Coffea Canephora) ada Kopi Arabika (Coffea Arabica), jika dilihat dari jenisnya. Lalu dilihat dari mana asalnya, ada kopi Aceh, kopi Gayo, kopi Medan, Kopi Padang, Jambi, Kerinci, ada juga yang menyebutnya kopi Sumatera. Ada kopi Jawa, kopi Toraja, kopi Kintamani, dan lain-lain. 

Dilhat dari cara penyeduhan dan penyajian juga ada kopi 'O' ada kopi tarik, ada kopi kosong, bahkan ada kopi steng, singkatan dari kopi setengah gelas dan lain-lain. Sebagaimana kopi, maka pada bagian ini, tulisan yang seperti 'menggumam' ini hanya akan menyajikan macam-macam keadilan dari berbagai pendapat, berbagai ragam aliran pemikiran dan sudut pandang.

Istilah

Secara harafiah, istilah keadilan berasal dari kata dasar ’adil’. Istilah adil merupakan kata resapan yang berasal dari bahasa Arab ’al-adl’, aa’dilun, dengan kata jamaknya ’u’duulun’. Keadilan dalam bahasa Arab juga disebut dengan istilah, a’dlun atau qistun atau anshofun.[1]  Kamus-kamus bahasa Arab mengartikan bahwa kata ini pada mulanya berarti ‘sama’.  Persamaan tersebut sering dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat immaterial[2]. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ‘adil’ diartikan tidak berat sebelah/tidak memihak, berpihak kepada kebenaran dan sepatutnya/tidak sewenang-wenang.[3]

Debat Banyak

Hans Kelsen menulis dalam What is Law?[4] Pada bagian awal dari halaman pertama bukunya, menyebutkan bahwa Isa Almasih diutus ke dunia ini untuk memberikan kesaksian tentang kebenaran. Pilate bertanya kepada  Isa Almasih: "Apakah kebenaran itu?”. Konon Isa Almasih tidak menjawab pertanyaan Pilate, karena menurut Al Masih memberikan kesaksian tentang kebenaran bukanlah inti dari misi dan tugasnya sebagai Raja Mesiah. Dia dilahirkan ke dunia ini untuk memberikan kesaksian tentang keadilan, keadilan yang akan diwujudkan dalam kerajaan Tuhan, dan untuk keadilan inilah ia rela "wafat" di kayu salib.  (He was born to give testimony for justice, the justice to be realized in the Kingdom of God, and for this justice he died on the cross[5]).

Dalam sejarah umat manusia tidak ada satu masalah yang terus diperdebatkan dengan sengitnya (so passionately), tidak ada satu masalahpun yang menyebabkan pertumpahan darah dan meneteskan banyak air mata, tidak ada satu masalah lainpun yang menjadi objek kajian dan pemikiran yang intensif dari pemikir besar, mulai dari Plato hingga Kant, bahkan sampai sekarang, pertanyaan ini belum mendapat jawaban.[6] 

Beragam Keadilan

Keadilan ini dapat disoroti dari berbagai sudut pandangan. Keadilan dapat dilihat dari segi filsafat hukum, dari sisi etika, politik, ekonomi dan dari sisi ilmu hukum. 

Dari segi filsafat hukum, keadilan itu dicari hakekatnya sumber keberadaannya. Pertama-tama kita bisa telusuri dari karya-karya Plato dan Aristoteles. Sebagian besar pandangan mereka ini ditujukan kepada definisi yang lebih konkrit tentang pengertian ”keadilan” dan hubungannya dengan hukum positif. Plato mencoba mengasalkan konsepsinya tentang keadilan dari  ”inspirasi”, sedangkan Aristoteles mendekatinya dengan analisa yang berdasarkan ilmu dan prinsip-prinsip rasional dengan latar belakang tipe masyarakat politik dan peraturan-peraturan hukum yang ada pada waktu itu. Yang menghubungkan kedua pandangan ini adalah ”concept of virtue”, yaitu sifat baik, suatu pengertian yang mencakup segala-galanya dan keadilan merupakan suatu bagiannya. Dari concept or virtue mengalirlah pengertian ”balance” dan ”harmony”, sebagai suatu ukuran pada masyarakat dan perorangan yang adil. Plato berpendapat bahwa ”harmoni” adalah suatu keadaan balance pikiran (mind) dari dalam yang tidak dapat dianalisa oleh akal. 

Menurut Aristoteles harmoni adalah suatu yang ada di tengah-tengah antara dua keadaan yang ekstrim, pengertian harmoni ini biasa didapat dengan mempergunakan prinsip-prinsip yang mirip dasar-dasar ilmu pasti dari suatu campuran keadaan-keadaan ekstrim di pemerintahan dan hubungan antara orang dengan orang.[7] Sebenarnya pandangan Plato ini berkaitan dengan ajarannya mengenai pembagian jiwa manusia (Plato’s doctrine of the the parts of soul,[8]) yang mengatakan bahwa jiwa manusia terbagi ke dalam tiga bagian sesuai dengan kemampuan kodrati yang dimilikinya yang berbeda dengan makhluk lainnya, yaitu: (1) jalan pikiran atau akal (nous), yang merupakan  bagian rasional, (2) semangat atau keberanian (thumos), dan (3) ialah keinginan, nafsu atau kebutuhan (epithumia),[9]yang juga disebut sebagai moralitas jiwa (soul morality) atau keutamaan (excellence). Tiga jiwa manusia ini dihubungkan dengan empat kebajikan, yakni: (1) pengendalian diri, (2) keperkasaan, (3) kebijaksanaan atau kearifan, dan (4) keadilan. Pikiran atau akal dihubungkan dengan kebijaksanaan; semangat atau keberanian dihubungkan dengan keperkasaan; sedangkan keinginan, nafsu atau kebutuhan dihubungkan dengan pengendalian diri. Ketiga bagian jiwa tersebut secara keseluruhan dihubungkan dengan “keadilan” untuk memelihara keselarasan dan keseimbangan antara masing-masing bagian tersebut. Oleh sebab, itu keadilan merupakan salah satu kebajikan pokok individu dan masyarakat. Keadilan mempertautkan ketiga macam kebajikan pokok lainnya, yakni pengendalian diri dan kebijaksanaan dan kearifan. Dengan demikian bagi Plato, keadilan itu tidak dapat dihubungkan secara langsung dengan hukum atau menurut Plato keadilan bukanlah konsep hukum.[10])

Akhirnya Plato berpendapat terdapat keadilan individual dan ada keadilan dalam negara. Keadilan individual yang dimaksud oleh Plato ialah di mana individu itu dapat menguasai dan mengendalikan diri sesuai dengan panggilannya yang ditentukan oleh bakat, kemampuan dan keterampilannya. Sedangkan keadilan dalam negara didasarkan kepada kebutuhan dan keinginan manusia yang begitu banyak dan beraneka ragam dalam kehidupannya sehari-hari. Manusia tidak mampu untuk memenuhi kebutuhannya ini, tanpa bantuan orang lain, maka dengan demikian manusia itu mengadakan kerja sama dan bantuan orang lain, sesuai dengan bakat, kemampuan  dan keterampilannya dan terbentuklah negara. Negara terbentuk disebabkan adanya kebutuhan dan keinginan yang beraneka ragam. Untuk dapat memenuhi ini semua perlu ada pembagian kerja sesuai dengan bakat, bidang keahlian dan keterampilannya. Oleh karena itu,  keadilan bagi Plato, adalah pembagian kerja yang diatur oleh bakat, keahlian dan keterampilan setiap warga negara.[11]

Aristoteles sendiri dalam teori hukumnya, memformulasikan keadilan dalam distributive justice dan corrective atau remedial justice. Sampai sekarang kedua pembagian ini, masih tetap menjadi dasar dari segala diskusi mengenai keadilan.[12]Distributive justice atau keadilan yang membagi, memberi petunjuk tentang pembagian barang-barang dan kehormatan kepada masing-masing orang menurut tempat di masyarakat, keadilan distributif menghendaki perlakuan yang sama terhadap mereka yang sama menurut hukum. Corrective Justice (keadilan yang memperbaiki) adalah terutama ukuran prinsip-prinsip teknis yang mengatur administrasi hukum. Dalam mengatur hubungan-hubungan hukum, harus ada suatu ukuran umum guna memperbaiki akibat-akibat tindakan, keperluan tersebut, tindakan-tindakan harus diukur dengan suatu ukuran objektif. Pada zaman Yunani sendiri sebagaimana juga sudah diurai sebelumnya, pendapat-pendapat mengenai keadilan terlihat pada Cephalos yang mengatakan bahwa keadilan itu adalah “kejujuran”, begitu pula kata Polemarchos bahwa keadilan ialah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya, namun hal ini ditolak oleh Plato, kendatipun ia mengambil beberapa unsur dari definisi itu dalam upayanya akhirnya Thrasymachos berpendapat bahwa: keadilan tidak lain adalah keuntungan bagi orang kuat (justice is nothing but, the advantage of the stronger)[13] 

Menurut kaum teoritisi hukum alam timbul pendapat yang berbeda satu sama lain. Keadilan dipahami sebagai yang tinggi atau terakhir yang berkembang dari sifat alam semesta dari tuhan dan akal manusia. M. T. Cicero[14] mengatakan bahwa keadilan adalah suatu kebaikan yang hakiki. Ulpianus[15] berpendapat bahwa keadilan penentuan yang pasti dan mengikat untuk memberikan pada tiap orang haknya. Thomas Van Aquinas[16] mengatakan bahwa  keadilan itupun adalah kemauan, yaitu kemauan untuk memberikan setiap orang apa yang menjadi haknya. Dan iapun membedakan antara keadilan umum (justitia generalis) keadilan ini mengatur perhubungan bagian dalam terhadap keseluruhan, dan keadilan khusus (justitia distributiva) yaitu keadilan dalam menjatuhkan hukum atau ganti rugi dalam kejahatan. Hugo De Groot[17] membedakan dua macam keadilan, yaitu: keadilan yang menelusuri (justitia expletrix) dengan keadilan yang memberikan (justitia attributrix).

Bila dilihat dari sudut etiks, keadilan dapat  dianggap sebagai suatu budi pekerti individu atau sebagai satu keadaan di mana terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan atau tuntutan-tuntutan manusia secara adil dan layak.[18] Dengan pertimbangan-pertimbangan akal budi manusia, ia dapat mengetahui, mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang boleh dilakukan, mana yang adil dan mana yang tidak adil. Dimensi kehidupan manusia itu meliputi kebebasan dan tanggung jawab, kesadaran moral dan kebahagiaan. Secara kodrati manusia bebas menentukan apa yang hendak ia lakukan dalam memenuhi kebutuhannya, hanya sudah barang tentu harus memperhatikan dan tidak mengganggu kepentingan orang. Di dalam bertindak ia senantiasa dilandasi tanggungjawab moral dengan penuh kesadaran, sehingga ia dapat mencapai kebahagiaan dalam hidupnya. Keadilan juga dilihat dari sudut ilmu ekonomi dan ilmu politik, keadilan dapat dibicarakan dalam hubungan dengan keadilan sosial (social justice) sebagai suatu sistem yang menjamin dan melindungi berbagai kepentingan.[19]

Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak dibicarakan sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum. Demikian pentingnya keadilan ini. Lalu keadilan itu sendiri apa sesungguhnya? Terhadap pertanyaan apakah keadilan itu, banyak filusuf yang mencoba menjawabnya, pertanyaan ini.

Pendapat tentang Keadilan
Bagian ini akan mengulang kembali beberapa pengertian atau pandangan para filsuf dan pakar mengenai keadilan berdasarkan urutan periode waktu. pandangan ini dikemukakan dengan harapan dapat menunjukkan karakteristik pengertian keadilan yang diberikan menurut zamannya diantaranya: 
  • Menurut Cephalos filsuf Yunani, keadilan adalah kejujuran, 
  • Menurut Polemaschos seorang filsuf Yunani, keadilan adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. 
  • Plato (Yunani) berpendapat mengenai “harmoni” adalah keadaan keseimbangan pikiran (balance of mind) dari dalam yang tidak dapat dianalisa akal. Plato membedakan Keadilan Personal dan Keadilan Negara. Keadilan (dikaiosune) terletak dalam batas seimbang antara 3 bagian jiwa. 
  • Murid Plato bernama Aristoteles (Yunani) berpendapat mengenai “harmoni” sesuatu yang ada ditengah-tengah antara dua keadaan yang extrim. Keadilan adalah suatu kebijakan politik yang aturan-aturannya menjadi dasar peraturan Negara dan aturan-aturan ini merupakan ukuran tentang apa yang hak. Menurut Aristoteles orang harus menghindari dari pleonexia, atau memperoleh keuntungan bagi dirinya dengan cara merebut apa yang seharusnya diberikan kepada orang lain. Keadilan didekati dari segi persamaan: 1) Keadilan Distributif, dalam hal cara Negara atau masyarakat membagi-bagi sumberdaya kepada warganya. 2) Keadilan Corrective. 
  • Thrasymachos menyebut Justice is nothing but the advantage of the stronger (keadilan tidak lain adalah keuntungan bagi orang kuat).  
  • Ulpianus (200 SM), keadilan adalah kemauan yang bersifat tetap dan terus menerus untuk memberikan kepada setiap orang apa yang semestinya untuknya. (Iuistitia est constant et perpetua voluntas ius suum cuigue tribuendi). 
  • Keadilan Justinian adalah kebajikan yang memberikan hasil bahwa setiap orang mendapat apa yang merupakan bagiannya. 
  • Menurut MT. Cicero, keadilan adalah suatu kebaikan yang hakiki. Hugo de Groot membagi keadilan, menjadi keadilan yang menelusuri (iustitia electrix) dan keadilan yang memberikan (iustitia attributrix). 
  • Herbert Spencer mengemukakan setiap orang bebas untuk menentukan apa yang akan dilakukannya, asal ia tidak melanggar kebebasan yang sama dari orang lain. 
  • Sedangkan Roscoe Pound melihat keadilan dalam hasil-hasil konkrit yang bisa diberikannya kepada masyarakat hasil konkrit dimaksud berupa “pemuasan” kebutuhan manusia sebanyak-banyaknya dengan melakukan pengorbanan yang sekecil-kecilnya. 
  • Bagi Hans Kelsen keadilan adalah suatu tertib sosial tertentu yang di bawah lindungannya usaha untuk mencari kebenaran bisa berkembang dengan subur. Keadilan menurutnya adalah, Keadilan Kemerdekaan, Keadilan Perdamaian, Keadilan Demokrasi, Keadilan Toleransi. 
  • John Rawls mengkonsepkan keadilan sebagai fairness (justice as fairness), yang mengandung asas-asas, “bahwa orang-orang yang merdeka dan rasional yang berkehendak untuk mengembangkan kepentingan-kepentingannya hendaknya memperoleh suatu kedudukan yang sama pada saat akan memulainya dan itu merupakan syarat yang fundamental bagi mereka untuk memasuki perhimpunan yang mereka kehendaki. 
  • Dalam pandangan Nelson Mandela tidak ada arti lain bagi keadilan kecuali persamaan pribadi. 
  • Menurut John Salmond, norma keadilan menentukan ruang lingkup dari kemerdekaan individual dalam mengejar kemakmuran individual, sehingga dengan demikian membatasi kemerdekaan individu didalam batas-batas sesuai dengan kesejahteraan ummat manusia.
  • Menurut G.W. Paton, Social Justive suatu sistem yang menjamin dan melindungi berbagai kepentingan. Paton membagi dua macam kepentingan. Social Interest: a. The efficient working of the legal society, b. National Security, c. The Economic Prosperity of Society, d. The protection of religions, moral, humanitarian, and intelectual values, e. Health and racial integrity. Private Interest, termasuk (1) Physical protection, (2) freedom of person, (3) freedom of the will, (4) liberty of thought and speech, (5) liberty of association, (6) protection of name and privacy, (7) protection of mind and feelings, dan (8) reputation. Family Interest, termasuk (1) husband and wife (2) parent and child Economic Interest (1) prosperity (2) right rorely on the representations or promised of others, (3) professional activities dan (4) economic security. Political Interest (1) the right to vote dan (2) the right to be elected.[20] 
  • Keadilan berhubungan dengan perbincangan tentang Keadilan Sosial (Social Justice) sebagai suatu sistem yang menjamin dan melindungi berbagai kepentingan yag ada dalam masyarakat.
  • Jika kita perhatikan dari sudut ilmu ekonomi,[21] keadilan sangat banyak di kaitkan dengan aliran utilitarisma yang mengajarkan tentang kebahagiaan dan kenikmatan hidup orang banyak.  Richard A-Posner dalam the Economic of Justice menyebutkan adanya kaidah ekonomi (economic norm) yang disebut “wealth maximation”. 
  • Dari sudut ilmu politik keadaan berkaitan dengan tujuan Negara misalnya pandangan Charles E. Merriam dalam buku “Systematic Politics” yang menyebutkan lima hal yang menjadi tujuan Negara: 1. External Security, 2. Internal Order, 3. Justive, 4. General Welfare, 5. Freedom. Dari sudut Ilmu Hukum Berbicara pelaksanaan keadilan (administration of justice) yang mempunyai makna mengatur relasi-relasi dan menerbitkan kelakuan manusia didalam proses pengadilan-pengadilan dari masyarakat (yang berorganisasi) politik.
  • Menurut Filsafat Hukum (aliran dan muzhab)[22], keadilan adalah hubungan ideal antar manusia, (a) Aliran Natural Law, keadilan dalam rasio Tuhan, (b) Historical Jurisprudence, keadilan diwujudkan dalam jiwa bangsa (volksgeist), (c) Sociological Jurisprudence: Keadilan diwujudkan dalam “Living Law”, (d) marxist Jurisprudence, keadilan dalam “class idiology”, (e). Legal Positivism, keadilan dalam kepastian undang-undang. 
Secangkir Kopi saja sudah membuat kita melayang, kemana-mana. Oke mending kita hentikan dulu. Kita lanjut mengopi di lain waktu.

Pagi ,15 April 2017





[1] M. Kasir Ibrahim, Kamus Arab Indonesia dan Indonesia Arab, (Surabaya: Appolo, 1996), hlm. 260.
[2] M. Quraish Shihab, Wawasan Qur’an,  Cetakan II (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 11.
[3] Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), hlm. 8.
[4] Hans Kelsen, What is Law? Justice, Law, and Politics in The Mirror of Science, Collected Essays by Hans Kelsen, (Barkeley dan Los Angeles: University of California), 1957.
[5] Hans Kelsen, What is Law? ibid., hlm. 1.
[6] Ibid.
[7] Thoga Hutagalung, Peranan Hukum dan Keadilan dalam Pembangunan Masyarakat yang Sejahtera, (Bandung: Armico, 1993).
[8] Ibid
[9] Ibid
[10] Ibid
[11] Ibid
[12] Ibid
[13] J.H. Rapar sebagaimana dikutip oleh Thoga H. Hutagalung, Ibid.
[14] George H.Sabine sebagaimana dikutip oleh Thoga Hutagalung, Ibid
[15] Ibid, hlm 169
[16] Ibid, hlm. 246
[17] Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: Kanisius, 1995) , hlm. 62.
[18] Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar, op. cit., hlm 17
[19] George W. Paton, loc. cit. hlm.101. et seq. Sebagaimana dikutip oleh Thoga H. Hutagalung.
[20] Thoga Hutagulung, ibid
[21] Ibid
[22] Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar