Sabtu, 15 April 2017

HUKUM UNTUK MANUSIA

Mari memulai menulis dengan menjawab pertanyaan sederhana "untuk siapa hukum itu?"

Hampir dipastikan semua menjawab bahwa "hukum itu hadir untuk manusia." Lalu mengapa dalam sejarah umat manusia seringkali ada 'aturan' yang malah membuat manusia tidak aman, tak nyaman, jauh dari rasa tenteram apalagi bahagia? Jawaban atas pertanyaan sederhana ini, yang lalu mendapat jawaban sederhana, ternyata menjadi tidak sederhana, kurang memuaskan, dangkal. Summir banget lah. Setelahnya lalu  memunculkan pertanyaan lanjutan: "mengapa hukum yang ada acapkali membuat manusia tidak mendapatkan keamanan, tak merasa kenyamanan, tenteram, bahagia atau bahkan rasa adil?"

Apa jawaban yang memuaskan utuk pertanyaan ini, mengapa hukum kerapkali tidak memberikan rasa aman, nyaman, tenteram dan bahagia? Saya mencoba menjawabnya agak panjang lebar.

Jawaban dimulai dari bahwa manusia hidup di tengah masyarakat, hidup bersama-sama dan bergaul dengan anggota masyarakat lainnya. Kecenderungan manusia hidup bersama dengan manusia lainnya. Manusia adalah makhluk yang berkecenderungan bersama-sama, berkelompok. Maka lahirlah pandangan bahwa Manusia adalah makhluk sosial (Hommo Socius), manusia adalah rekan bagi manusia lainnya.

Mengenai mengapa manusia mesti bergaul bersama rekannya? Banyak penjelasan (teori) mengenai hal ini ada yang menyebut bahwa manusia enggan kesepian, ini tentu saja dari pendekatan psikologis. Ada juga yang berpandangan dengan satu frase kata yang populer "homo socius", ini pandangan dari Aristoteles yang menyebut manusia sebagai hewan yang suka bermasyarakat atau Zoon Politikon. Lalu mengapa manusia (kudu) berhimpun dalam masyarakat dan lalu berhukum (kemudian)?

Satjipto Rahardjo, pemikir hukum Indonesia, menjawab pertanyaan ini menjelaskan penjelasan apa yang mendorong manusia berhubungan dengan manusia lainnya dalam masyarakat. Salah satu faktor yang mendorong adalah ‘pembagian sumber-sumber daya dalam masyarakat".

Lalu bagaimana pola pembagian itu dilakukan?

Menurut Satjipto Rahardjo, pada dasarnya ada dua pola pembagian sumber-sumber daya di tengah masyarakat, yakni: Pertama, yang didasarkan pada kemampuan masing-masing dan Kedua yang didasarkan pada mekanisme pembagian yang diciptakan oleh masyarakat sendiri.

Pada pola pertama, problem bagaimana orang bisa masuk ke sumber-sumber daya, dipecahkan melalui disposisi dari masing-masing orang secara alamiah. Dalam keadaan demikian maka siapa yang lebih kuat dengan sendirinya akan memperoleh jalan masuk itu dengan mengalahkan mereka yang kurang kuat. Pola pertama ini mirip dengan pengamatan Thomas Hobbes  dalam rumusan homo homini lupus, sedangkan pola kedua terjadi pada masyarakat  yang memberikan pedoman-pedoman kepada anggotanya tentang bagaimana hendaknya hubungan-hubungan antar mereka itu dilaksanakan. Pedoman-pedoman ini bisa berupa larangan maupun keharusan. Apabila hal ini dihubungkan dengan tujuan untuk memperoleh sumberdaya, maka pedoman itu memberi tahu bagaimana masing-masing anggota masyarakat itu berhubungan satu sama lain, dalam rangka memperoleh sumber-sumber daya tersebut. Suatu pasal dalam undang-undang misalnya, bahwa untuk mendapatkan suatu barang yang diinginkan orang harus melakukan perbuatan jual beli, artinya si pembeli harus bersedia untuk membayar harga yang ditentukan untuk barang tertentu. Jalan masuk untuk memperoleh sumber daya itu dilakukan dengan sarana uang.

Secara konsepsional kita akan menemukan pernyataan tentang pembagian sumber-sumber daya dalam masyarakat yang terdapat dalam peraturan perundang-undangannya yang bersifat mendasar (UUD), misalnya bahwa pada suatu negara kehidupan perekonomiannya didasarkan pada asas kebebasan berusaha, sedangkan di negara lain didasarkan pada asas kekeluargaan/kebersamaan. Beberapa hal yang dipersoalkan dalam pembagian sumber-sumber daya alam masyarakat itu antara lain:

(1) Kepada siapakah sumber-sumber daya alam masyarakat itu dibagikan?
(2) Seberapa besarkah bagian yang diberikan kepada masing-masing penerima?
(3) Apakah syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh bagian itu?

Apabila ditanyakan tentang ukuran untuk menentukan bagaimana masalah-masalah di atas dipecahkan, maka pertanyaan telah memasuki bidang keadilan. Keadilan memang dapat dirumuskan secara sederhana sebagai tolak ukur yang kita pakai untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas.

Dapat dipahami dari uraian ini, bahwa sekalipun hukum itu langsung dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan yang praktis, yaitu bagaimana sumber-sumber daya itu hendak dibagi-bagikan dalam masyarakat, tetapi ia tidak bisa terlepas dari pemikiran yang lebih abstrak, yang menjadi landasannya, yaitu pertanyaan tentang ‘mana yang adil?’ dan ‘apakah keadilan itu?’. Dan yang lebih penting adalah bahwa tatanan sosial, sistem sosial, norma sosial, serta hukum, tidak bisa langsung menggarap persoalan tersebut tanpa diputuskan terlebih dahulu melalui konsep keadilan oleh masyarakat yang bersangkutan.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan secara summir  bahwa Hukum hadir untuk Manusia. Hukum mengatur pembagian sumber-sumber daya yang ada di dalam masyarakat. Dan hukum yang 'hadir' itu, harus lah berdasarkan pada "tolok ukur" yang disepakati bersama oleh anggota Masyarakat.

Jadi Hukum yang Baik adalah  Hukum yang disepakati bersama sesuai tolok ukur (Rasa Keadilan) Masyarakat.  Dan Cara Berhukum yang Baik adalah yang sesuai dengan Cara Berhukumnya Masyarakat.


Padang, 14 April 2017



1 komentar:

  1. SEJUMPUT TULISAN ATAS : HUKUM UNTUK MANUSIA_ KARYA: OTONG ROSADI
    Oleh: Ade Imam Julipar
    Memulai tulisan ini saya seperti dibawa pada “masa-masa subur Ide” pada kurun 90-an. Gesekan dan persinggunggan pemikiran kerap terjadi dengan kawan-kawan ketika itu. Pernah suatu waktu saya berdiskusi dengan mereka. Dan kebetulan tema diskusinya: Masalah Hukum. Tempatnya, saya ingat betul, di Jalan Suci No:.....Bandung.
    Dan saya juga masih ingat betul siapa saja yang hadir ketika itu. Mereka adalah: Wachdiat Sukardi ( Paman Laksamana Sukardi—Mantan menteri pada kabinet gotong royong—saya tidak ingat pernah jadi menteri apa dia), drs. Mulyono ( Mantan anggota MPR dari Partai P. tahun 50-an. Beliau sempat bercerita tentang “Indahnya” Pulau Buru. Karena beliau pernah “tinggal” disana selama 12 tahun), Usep Ranuwijaya (Sekjen PNI Osa-Usep. Dimasa beliau menjadi pengurus PNI lah, fusi PNI ke PDI terjadi), Natalia ( Satu-satunya wanita. Dia adalah Sekjen PRD wilayah Bandung) dan seorang lagi Alfian ( Anggota sebuah Aliansi, entah namanya apa, saya tidak tahu persis).
    Di ruangan berukuran 6 x 4 meter yang disesaki asap rokok mereka berdiskusi. Saya tidak akan menggambarkan bagaimana mereka berdiskusi. Saya hanya akan menulis pokok-pokok pikiran yang sempat teraih saat itu. Walaupun samar.
    ***

    Seperti ini Hasilnya:
    Hukum merupakan salah satu produk budaya. Dan jika bicara masalah produk budaya tidak terlepas dari kekuasan semasa. Karena: Kebudayaan suatu masa adalah kebudayaan kelas berkuasa.
    Konsep base-superstructure mendeskripsikan masyarakat yang ada di dunia ini terbagi ke dalam 2 (dua) bagian, yaitu: struktur dasar (bawah, basestructure) dan struktur atas (superstructure). Dalam pembagian seperti itu, faktor ekonomi diletakkan pada struktur dasar, sedangkan hal-hal lainnya, seperti sistem sosial, hukum, politik, agama, seni dan ilmu pengetahuan diletakkan pada struktur atas.
    Segala proses yang terjadi pada struktur atas akan dipengaruhi oleh struktur dasar. Cara produksi kehidupan material mengkondisikan proses kehidupan sosial, politik, dan spiritual pada umumnya.
    Dalam proses pembentukkan hukum, maka segala faktor yang ada, seperti faktor politik, agama, adat, dan ilmu pengetahuan, bisa saling berinteraksi ikut membentuk hukum bersama-sama dengan faktor ekonomi. Jadi pendekatan determinisme yang lebih lunak ini masih menyediakan ruang bagi terjadinya proses saling mempengaruhi antarfaktor yang terdapat di struktur dasar dan struktur atas.
    Apabila penjelasan mengenai hubungan hukum dengan ideologi dikaitkan dengan konsep base-superstructure, maka hukum ini akan hadir baik di struktur dasar maupun di struktur atas. Hukum hadir di struktur atas adalah karena hukum itu sendiri muncul dari bidang ideologi, yang merupakan salah satu unsur pada struktur atas. Sedangkan hukum hadir di struktur dasar adalah karena hukum itu berfungsi mengatur dan memperlancar terjadinya proses hubungan-hubungan produksi.
    Setiap ideologi yang berlaku disebuah negara, selalu berusaha untuk mempererat formasi sosial, yang di dalamnya terdapat kelas-kelas sosial, agar berada di bawah kepemimpinan mereka (kelas dominan). Upaya untuk menggiring kelas sosial lainnya agar mau tunduk di bawah kepemimpinan kelas dominan itulah yang disebut dengan hegemoni, dan hukum menjadi salah satu instrumen penting dalam proses hegemoni.
    Antonio Gramsci pernah menyatakan bahwa : Hegemoni merupakan penundukkan kelas-kelas sosial dengan cara-cara yang lebih bersifat konsensus (persetujuan) daripada penindasan (paksaan). Kelas yang melakukan penundukkan itu adalah kelas hegemonik.
    Bisa ditarik sebuah kesimpulan dari diskusi mereka : Sistem ekonomi sebuah negara akan menentukan sistem hukum di negara itu. Ini senafas dengan dalil: Keadaan membentuk kesadaran.
    ***


    Salam Dari Pinggiran Kali Cisadane
    Benteng Betawi, 15 April 2017


    BalasHapus