Sabtu, 15 April 2017

KESEJAHTERAAN UMUM UNTUK MERAWAT INDONESIA

Prolog

Sungguhpun tidak ada jaminan suatu peradaban, suatu kerajaan atau negara, akan terus dan tetap bertahan sepanjang masa. Namun ikhtiar untuk terus menjaga keutuhan suatu peradaban, bangsa, negara dan pemerintahan, merupakan keinginan bersama warganya. Sejarah mencatat Mesir Kuno, Inca, Yunani, Romawi, Sriwijaya, Majapahit, hingga Uni Sovyet lenyap. Namun sejarah juga mencatat bahwa peradaban, kerajaan, dan negara itu hancur, hilang, atau tercabik-cabik rata-rata karena pertentangan intenal yang tak berkesudahan, akibat konflik dalam negeri yang berkepanjangan.  Dan konflik di dalam negeri, kerapkali sumber utamanya adalah tidak hadirnya ‘kesejahteraan bersama’ bagi warganya. Ketimpangan pendapatan, akses terhadap sumberdaya yang tidak diatur berdasar kesepakatan yang adil hingga tak samanya kesempatan dan hak hidup warga bangsa.

Tulisan ini mencoba menghubungkan antara ‘berdemokrasi’ sebagai pilihan sistem politik di satu sisi dan hadirnya ‘kesejahteraan” sebagai tujuan bernegara di sisi lain dengan tetap terawatnya Indonesia. Tulisan ini, lebih pada renungan Penulis melihat praktek sistem politik Indonesia kontemporer. Tanpa berpretensi tulisan ini benar, namun refleksi ini tentu saja berangkat dari keprihatinan yang mendalam.

Berdemokrasi, Jalan Menuju Sejahtera?

Perseteruan para pendukung capres di banyak Medsos, hiruk pikuknya Pilgub DKI 2017, maju mundur maju laginya Setya Novanto, rebutan Pimpinan DPD RI, tarik ulurnya negosiasi PT Freeport, dan deret panjang kehebohan jagad politik di tanah air. Nyaris terus mewarnai sepanjang tiga tahun Pemerintahan Jokowi-JK, usai helat Pipres 9 Juli 2014. Tiga tahun arungi ‘samudra’ yang tak sepi dari terpaan badai dan terjangan gelombang. Demikian halnya dengan sepuluh tahun masa Pemerintahan SBY, juga saat Megawati dan Gus Dur menjadi Presiden di negeri ini. Indonesia memang tengah berubah. Tapi apakah perubahan yang tengah terus (terjadi) ini membawa kebaikan bagi warganya? 

Sejak tahun 1998, sistem ketatanegaraan Indonesia pun telah berubah, (bahkan) secara fundamental. Sistem politik yang demokratis, jadi pilihan pasca reformasi. Soal pilihan ini, saya ingat Winston Churchill, yang menyebut “...that democracy is the worst form of government except all the others that have been tried.” Demokrasi bukan sistem pemerintahan terbaik, tetapi belum ada sistem lain yang lebih baik daripadanya. Di sinilah letak keunikan demokrasi itu. Dan antara lain karena alasan inilah, di era reformasi ini, kita memilih untuk menerapkan sistem politik yang demokratis pasca-Orde Baru. Dengan menerapkan sistem politik yang demokratis, diharapkan bangsa Indonesia tidak hanya akan mampu memulihkan kondisi multikrisis yang dihadapinya, tetapi juga merupakan ikhtiar untuk mewujudkan cita-cita bernegara.

Dalam rangka mewujudkan tujuan bernegara inilah, maka di masa reformasi dilakukan konsolidasi demokrasi melalui penguatan kelembagaan politik (baik supra struktur maupun inprastruktur politik). Dalam rangka penguatan kelembagaan politik ini hal yang seharusnya beriringan (diperkuat oleh) aspek budaya masyarakat. 

Namun setelah hampir dua dasawarsa kita memilih sistem politik, dewasa ini terlihat bahwa antara penguatan kelembagaan demokrasi di Indonesia belum atau tidak disertai dengan perubahan budaya masyarakatnya. Sehingga demokrasi sementara ini hanya mempertontonkan ‘demokrasi prosedural’ (hanya alat semata), belum demokrasi substansial (sesuai dengan cita-citanya). Sehingga wajar jika ada pandangan apatis, dari sementara kalangan, yang menyebutkan bahwa, saat demokrasi dijadikan ‘alat atau sarana’ untuk mencapai kesejahteraan telah gagal, maka kesejahteraan bisa diraih dengan cara-cara ‘nondemokratis’, dan demokrasi pun bisa diabaikan. Pandangan yang tidak sepenuhnya benar tentu. Lalu mengapa di tengah sistem demokrasi yang tengah dicobakan, ternyata kesejahteraan rakyat, malah kerap terpinggirkan. Jangankan sejahtera dhahir (batiniah), kesejahteraan lahirian (fisik) saja  ‘masih jauh api dari panggang.’

Penulis termasuk yang berpandangan bahwa Kesejahteraan Umum, yang dimaksud oleh pendiri Negara, bukan ‘kesejahteraan dalam arti ekonomi/fisik’ semata, tetapi lebih luas termasuk ‘kesejahteraan secara ekonomi, social, psikis, budaya, dan lain-lain)’ atau kalimat lain ‘sejahtera lahir bathin’. Untuk mencapai kesejahteraan lahir-bathin maka ‘demokrasi subtansial’ yang mensyaratkan penguatan kelembagaan demokrasi dan penguatan budaya masyarakat haruslah berbasis pada ‘karakteristik local Indonesia’ (berkarakter masyarakat Pancasila). Pemahaman terhadap prinsip keindonesiaan ini harus diinkorporasikan pada saat melakukan penataan ulang (reformasi) kelembagaan Negara.  Penataan ulang kelembagaan Negara agar tujuan bernegara terwujud merupakan keharusan, bersamaan dengan konsolidasi demokrasi yang terus sedang berjalan di Indonesia.

Memajukan Kesejahteraan Umum: Esensi Utama Bernegara di Manapun

Secara bidang per bidang, kita mengenal adanya masalah-masalah sosial di tengah masyarakat kita, misalnya penyandang cacat, orang tua jompo (lansia), fakir miskin, anak nakal dan terlantar, pekerja seks komersial, tuna wisma dan gelandangan, dan lain-lain. Contoh yang disebutkan ini merupakan masalah-masalah sosial yang berhubungan dengan kesejahteraan sosial atau social welfare. Masalah-masalah lainnya seperti ketersediaan pendidikan bagi semua warga, pelayanan kesehatan yang memadai. Perumahan yang layak, serta pekerjaan dan penghidupan yang layak, dapat dikategorikan dalam usaha kesejahteraan ekonomi dan sosial (social and economic welfare). Dalam pandangan penulis, jika usaha-usaha itu digabungkan, maka semua usaha itu dapat disebut sebagai upaya memajukan kesejahteraan umum.

Usaha negara untuk memajukan kesejahteraan umum, merupakan kewajiban yang mendasar yang harus ditunaikan oleh Pemerintahan Negara manapun. Apapun pilihan ideologi bernegara (staatsidee) dan sistem ketatanegaraan (political system) yang dianutnya. Negara Jerman, misalnya tahun 1878 pada saat Otto von Bismarck dari Pantai Sosialis memerintah memperkenalkan program yang diperuntukkan bagi kesejahteraan warganya. Pemerintah Amerika Serikat, yang terkenal sangat liberal dalam garis politik juga melakukan hal yang sama melalui program yang dikenal dengan The New Deal, untuk mengeluarkan warga Amerika Serikat dari kesulitan perekonomian dan kesejahteraan (Carl J. Freidrich, 1967:23). 

Inggris yang menganut liberalisme dengan Pemerintahan Monarcki Konstitusional, memperkenalkan konsep welfare state sejak tahun 1930 berawal dari laporan Tim yang diketuai anggota Parlemen dari Partai Buruh Beveridge yang merumuskan program-program social welfare yang komprehensif. Inggris sebagai negara pertama yang menyelenggarakan program kesejahteraan warga yang cukup komprehensif di awal abad 21. Namun, Stephen Berry, menyebut Inggris sebenarnya belajar dari Jerman pada masa Bismark 1878 dari Partai Sosial memerintah. Dalam artikelnya Berry (http://www.Ia-articles.org.uk/ws.htm), menulis bahwa:
“Bismarck had temporarily banned socialist parties in 1878 and brought in a form of state welfare to placate the working classes and avoid a socialist revolution (In the late 19th century, Germany had the most powerful socialist party in the world). In the 1880s the German state began to provide accident, health and pension insurance and became the conscious model for Lloyd George and William Beveridge, the latter more than anyone being the architect of the British Welfare State.”

Berry menyebutkan bahwa Beveridge berkunjung ke Jerman pada tahun 1907 dan Llyod George pada tahun 1908. Hasil kunjungan ini dan kajian di Inggris menghasilkan sebuah laporan yang dikenal dengan Beveridge Report, berupa program sosial, antara lain memeratakan pendapatan masyarakat, mengusahakan kesejahteraan sosial bagi masyarakat mulai sejak manusia lahir sampai meninggal (from the cradle for the grave), mengusahakan lapangan kerja yang seluas-luasnya, pengawasan terhadap upah yang harus dilaksanakan oleh pemerintah, memperluas usaha dalam bidang pendidikan bagi masyarakat, baik pendidikan formal maupun pendidikan informal.

Dari tiga contoh negara tersebut diperoleh gambaran bahwa menyejahterakan rakyatnya dilakukan di negara manapun tanpa membedakan sistem pemerintahan yang dianutnya. Spicker berbeda dengan pandangan ini. Menurut Spicker negara kesejahteraan sosial yang memberi peran lebih besar kepada negara (Pemerintah) untuk mengalokasikan sebagian dana publik demi menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar warganya. Marshall mengemukakan negara kesejahteraan merupakan bagian dari sebuah masyarakat modern yang sejalan dengan ekonomi pasar kapitalis dan struktur demokratis. Negara-negara yang termasuk dalam kategori ini adalah Inggris. Amerika, Australia, dan Selandia Baru serat sebagian besar negara-negara Eropa Barat dan Utara. Negara-negara yang tidak dapat dikategorikan sebagai penganut negara kesejahteraan adalah negara-negara bekas Uni Soviet dan Blok Timur, karena mereka tidak termasuk negara-negara demokratis maupun kapitalis.[Edi Suharto, 2002]

Edi Suharto (2002) membedakan model negara kesejahteraan dalam empat model, yakni: Pertama, model universal yang dianut oleh negara-negara Skandinavia, seperti Swedia, Norwegia, Denmark dan Finlandia. Dalam model ini, pemerintah menyediakan jaminan sosial kepada semua warga negara secara melembaga dan merata. Anggaran negara untuk program sosial mencapai lebih dari 60% dari total belanja negara. Kedua, model institutional yang dianut oleh Jerman dan Austria. Seperti model pertama, jaminan sosial dilaksanakan secara melembaga dan luas. Akan tetapi kontribusi terhadap berbagai skim jaminan sosial berasal dari tiga pihak (payroll contributions), yakni Pemerintahan, dunia usaha dan pekerja (buruh), Ketiga model residual yang dianut olah AS, Inggris, Australia dan Selandia Baru. Jaminan sosial dari Pemerintah lebih diutamakan kepada kelompok lemah, seperti orang miskin, cacat dan penganggur, Pemerintah menyerahkan sebagian perannya kepada organisasi sosial. Keempat, model minimal yang dianut oleh gugus negara-negara latin (Prancis, Spanyol, Yunani, Portugis, Itali, Chile, Brazil) dan Asia (Korea Selatan, Filipina, Srilanka). Anggaran negara untuk program sosial sangat kecil, di bawah 10 persen dari total pengeluaran negara. Jaminan sosial dari Pemerintah diberikan secara sporadis, temporer dan minimal yang umumnya hanya diberikan kepada pegawai negeri dan swasta. Tidak masuknya negara-negara Eropa Timur dan negara yang menganut ideologi komunis dan sosialis lainnya, bukanlah memajukan kesejahteraan umum. Konstitusi di negara-negara ini malah mencantumkan secara tegas pengaturan tentang tata ekonomi dan tata sosialnya.

Kesejahteraan Umum dalam Konteks Keindonesiaan

Dalam konteks Indonesia, muncul pertanyaan bagaimana konsep kesejahteraan umum (social welfare) dan bagaimana UUD 1945 mengatur kesejahteraan umum. Pertanyaan ini menarik untuk dikaji sehubungan dengan kecendrungan pemerintahan negara-negara modern menjadikan 
kesejahteraan bagi warganya sebagai program krusial. 

Kesejahteraan umum merupakan Pilihan para pendiri bangsa dalam merumuskan tujuan negara. Sekilas terdapat beberapa ide dari pandangan anggota BPUPKI dan PPKI dalam sidang penyusunan UUD 1945. Pandangan pertama, dari Soepomo yang menyebutkan bahwa ide negara (staatidee) yang mendasari pendirian negara Indonesia atau faham kekeluargaan (integralistik). Pandangan ini menurut Soepomo adalah jalan tengah yang menjadi arus utama (mainstream) pemikiran modern saat itu, yakni: faham negara liberalisme berdasar ideologi individualism dan faham negara socialist/absolutism yang berdasar pada sosialisme. Faham negara integralistik, menurut Soepomo “… yang menyatukan negara dengan rakyatnya yang mengatasi seluruh golongan dalam lapangan apapun.” (Saafroedin Bahar, 1995). Ide negara Soepomo ini, menurut penulis, mengejawantah dalam sistem ketatanegaraan, sistem politik, dan juga sistem perekonomian yang disusun dalam UUD 1945. Dalam sistem ketatanegaraan, dapat terlihat dengan besar dan luasnya peran yang dimiliki oleh Presiden, sehingga terkesan bahwa UUD 1945 mempunyai karakter ‘executive heavy’. Dalam sistem perekonomian terlihat dianut konsep atau asas kekeluargaan dalam perekonomian negara dalam Pasal 33 UUD 1945.

Di lain pihak terdapat pula pandangan dari Moh. Hatta, yang mengingatkan agar negara yang dibentuk nanti tidak menjadi negara kekuasaan, misalnya dengan memberikan peran besar pada pemimpinnya. Moh. Hatta menginginkan model ‘negara pengurus’, lalu diusulkannya memasukkan beberapa perlindungan atas hak-hak warga negara, ini dapat dilihat dalam Pidato tanggal 15 Juli 1945. Yang menarik dari diterimanya usul Moh. Hatta ini adalah terdapatnya hak mendapatkan penghidupan dan pekerjaan yang layak dalam Pasal 27 Ayat (2) UUD 1945, disamping persamaan kedudukan di hadapan hukum dan pemerintahan dan hak berserikat dan berbicara dalam Pasal 28 UUD 1945.

Keinginan menjadi negara pengurus yang satu sisi, dan menjadi negara yang menyatukan antara negara dengan rakyat dalam ‘keluarga besar’ pada sisi lain, menunjukkan bahwa dua aliran besar dalam filsafat dipilih keduanya, bersama-sama dan bersinergi. Sinergi itu memilih ide negara Indonesia merdeka dan merumuskan tujuan negara yang hendak disusun itu. Rumusan bahwa tujuan negara selain untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, merupakan sinergitas atau sintesa dari kedua aliran besar filsafat. 

Tujuan ‘memajukan kesejahteraan umum’ sebagai amanah Pembukaan UUD 1945, dirumuskan dalam Bab XIV Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial. Bab ini meliputi dua pasal, yaitu: Pasal 33 yang mengatur tentang perekonomian nasional dan Pasal 34 yang berhubungan dengan kesejahteraan sosial. Istilah kesejahteraan umum (general welfare) mempunyai pengertian yang luas, didalamnya termasuk kesejahteraan yang bersifat sosial (social welfare) dan kesejahteraan secara material (economic welfare). Istilah lain yang hampir sama (sinonim) dengan kesejahteraan umum adalah istilah kesejahteraan rakyat (people welfare). Jadi, pemakaian istilah kesejahteraan umum dalam Pembukaan UUD 1945, merupakan Pilihan yang tepat dari Pendiri Bangsa. Tepat karena sesuai dengan maksudnya bahwa kesejahteraan dalam arti lahir dan juga bathin, meliputi seluruh aspek kehidupan (dalam lapangan apapun, meminjam istilah Soepomo). Dalam praktik pemerintahan kesejahteraan umum yang mempunyai dua pengertian. Pengertian pertama diartikan sebagai kegiatan yang mempunyai cakupan yang luas dan kompleks yang berhubungan dengan aspek-aspek pendidikan, kesehatan, agama, tenaga kerja, kesejahteraan bagi penyandang mansalah sosial, dan lain-lain. Pengertian yang kedua, kesejahteraan sosial dalam arti yang sempit, yaitu sebagai lapangan yang memperhatikan hubungan masnusia (baik sebagai individu maupun dalam hubungan dengan masyarakat) dalam melaksanakan peranan sosialnya. 

Berdasarkan dua pengertian di atas, nampaknya kesejahteraan sosial dalam arti yang luas, dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan termasuk pada bidang-bidang yang ditangani oleh instansi/lembaga yang menangani ‘bidang kesra’ (dulu, kini Pembangunan Manusia dan Kebudayaan). Sedangkan kesejahteraan sosial dalam artinya yang sempit, dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan termasuk ada bidang yang biasa dilakukan oleh instansi/lembaga ‘kesejahteraan sosial’ atau ‘sosial’ atau dengan nama lain. 

Aspek Kelembagaan dan Pendekatannya

Pemberian makna yang berbeda antara kesejahteraan rakyat/umum dan kesejahteraan sosial semestinya mendapatkan kejelasan melalui suatu kebijakan yang diambil negara berdasar perundang-undangan. Bidang kesejahteraan umum/kesejahteraan rakyat, yang selama ini merupakan bidang garapan Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan harus pula dikaitkan dengan bidang-bidang perekonomian yang mempunyai kaitan penting dengan kesejahteraan rakyat. Dengan demikian maka pembidangan kementrian, kantor menteri negara dan badan Pemerintahan non-kementrian harus diubah tidak lagi pendekatan kelembagaan (struktural) tetapi menjadi pendekatan kewenangan atau fungsional. 

Oleh karena itu, ruang lingkup bidang kesejahteraan rakyat/umum termasuk bidang-bidang pendidikan, kesehatan, agama, ketenagakerjaan, penanggulangan kemiskinan, penanganan bencana, penanggulangan penyandang masalah sosial, perlindungan bagi anak, perempuan dan lansia (orang tua lanjut usia), pembinaan generasi muda, olah raga dan seni, dan kebijakan ekonomi yang berhubungan dengan masyarakat kebanyakan, dan lain-lain. Sedangkan kesejahteraan sosial sebagaimana yang selama ini diartikan sempit tetap menjadi kewenangan Kementrian Sosial secara khusus. Kebijakan negara di bidang kesejahteraan umum/rakyat sangat penting bagi negara. Kinerja pemerintahan suatu negara akan dinilai masyarakat dari kebijakan kesejahteraan rakyatnya, seperti Indeks Pembangunan Manusia (HDI).

Saat, kemenangan Partai Buruh pada saat dipimpin Blair, nampak dari caranya yang simpati menawarkan kebijakan kesehatan nasional kepada pemilih. Juga pada saat Kanselir Gerhard Schroeder dipilih rakyat Jerman, ia dapat menarik simpati rakyat dengan tawarannya memperkuat kebijakan di bidang sosial, meneruskan garis yang sudah sejak mula dipancang oleh Otto Bismarck. Fenomena kekalahan Gerhard Schroeder secara tipis dalam Pemilu 2005 dan mengharuskan pembentukan koalisi antara kubu konservatif (Uni Demokratik Kristen/Uni Sosial Kristen, CDU/CSU) yang cenderung pro-liberalisme dipimpin oleh Angela Merkel dan kubu Partai Sosial-Demokrat (SPD) dibawah Gerhard Schroeder yang ‘taat’ pada konsep kesejahteraan sosial. Kekalahan Schroeder yang tipis menunjukkan bahwa program memajukan kesejahteraan umum merupakan ‘batu uji’ bagi pemerintahan negara modern. Demikian juga saat Barack Obama memenangi Pemilu di Amerika Serikat, di masa dua periode pemerintahannya melalui ‘Obama Care’.

Pengaturan Kebijakan Bidang Kesejahteraan dalam UUD 1945 Hasil Perubahan

Berbeda dengan ketentuan UUD 1945 sebelum diamandemen, maka UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasca amandemen mengatur perihal kesejahteraan umum (people/general welfare) lebih banyak pasalnya dan lebih luas lingkupnya. Jika pengertian kesejahteraan umum/rakyat yang termasuk di dalamnya lingkup bidang kesehatan, pendidikan, penyandang masalah kesejahteraan sosial, perlindungan anak, perempuan, orang lanjut usia, bidang penyediaan perumahan dan lain-lain, maka ketentuan di dalam UUD 1945 Pasca Amandemen yang dapat dikatergorikan sebagai kaidah konstitusi bagi pengaturan negara di bidang kesejahteraan umum (people/general welfare) itu meliputi Pasal 27 Ayat (2), Pasal 28A sampai Pasal 28J, Pasal 29, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, dan Pasal 34.

Hasil amandemen UUD 1945 memberikan dasar konstitusional yang tegas mengenai keperluan negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan membudayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusian. Dalam Pasal 28 H Ayat (3) UUD 1945 disebutkan “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat”.

Maka lahirnya UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Yang menjadi dasarnya sistem jaminan sosial nasional yang bertujuan memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Melalui Program ini diharapkan setiap penduduk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak jika terjadi hal-hal yang dapat mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatan, karena menderita sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan memasuki usia lanjut, atau pension. Sistem Jaminan Sosial Nasional yang meliputi: jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian hanya salah satu saja dari program Pemerintahan untuk memajukan kesejahteraan umum di samping usaha lain yang telah dilakukan. Bidang-bidang lainnya, seperti bidang kesejahteraan sosial bagi penyandang masalah sosial, diantaranya tentang pemberian bantuan penghidupan orang jompo, tentang organisasi kemasyarakatan, tentang yayasan, tentang perlindungan anak, bidang-bidang kesehatan, bidang pendidikan, dan keolahragaan, bidang penyediaan perumahan, dan lain-lain.

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial juga hadir untuk terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Tujuan Kesejahteraan Sosial menurut UU Nomor 11 Tahun 2009 adalah: (1) meningkatkan taraf kesejahteraan, kualitas, dan kelangsungan hidup; (2) memulihkan fungsi sosial dalam rangka mencapai kemandirian; (3) meningkatkan ketahanan sosial masyarakat dalam mencegah dan menangani masalah kesejahteraan sosial; (4) meningkatkan kemampuan, kepedulian dan tanggungjawab sosial dunia usaha dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara melembaga dan berkelanjutan; (5) meningkatkan kemampuan dan kepedulian masyarakat dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara melembaga dan berkelanjutan; dan (6) meningkatkan kualitas manajemen penyelenggaraan kesejahteraan sosial.

Penegasan tujuan pembentukan pemerintahan Negara Indonesia dalam pembukaan UUD 1945, dirumuskan dalam ketentuan dalam Bab XIV Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial. Lahirnya ketentuan Pasal 28 dan adanya sistem jaminan sosial nasional dalam amandemen UUD 1945 memuat konsepsi negara kesejahteraan (Welfare State). Konsep negara kesejahteraan Indonesia, yang bukan semata-mata lahir berdasarkan asumsi dari tanggung jawab negara mengambil peran (intervensi) karena kegagalan ekonomi pasar namun lebih karena tanggung jawab yang diembannya sejak pertama didirikan sebagai negara bangsa (nation state). Hal ini yang membedakan dengan konsep welfare state sebagaimana yang dimaksud oleh negara-negara yang menganut faham liberal. Menurut konsepsi negara liberal, welfare state adalah “a liberal state which-being of its citizens through a range of interventions in the market economy, e.g. full employment policies and social welfare services.” (Ramesh Mishra, 1984) 

Bercermin pada model pengembangan model negara kesejahteraan Inggris yang komprehensif berdasar pada laporan Beveridge, maka negara kesejahteraan seyogyanya akan menyelenggarakan program-program berikut ini. Pertama, adanya sistem asuransi sosial yang menjamin semua warga negara memperoleh pendapatan sesuai standar minimal, termasuk ke dalamnya orang yang tidak mempunyai pekerjaan, sakit menahan, terluka atau telah pensiun, juga tunjangan bagi ibu dan santunan kematian. Kedua, adanya sistem bantuan sosial, meliputi tunjangan keluarga, perumahan dan bantuan nasional. Ketiga, adanya sistem nasional yang mengatur tentang pelayan-pelayan pendidikan dan kesehatan. Keempat, adanya sistem pelayanan kesejahteraan sebagai perluasan perlindungan masyarakat yang membutuhkan dengan kondisi-kondisi khusus. Pelayanan ini meliputi kesejahteraan anak, bantuan perawatan, perawatan orang jompo, cacat, lemah mental, terlantar dan orang-orang sejenis. Dalam bidang ini lembaga masyarakat memainkan peran penting. Kelima, adanya kebijakan nasional untuk memelihara tingkat lapangan kerja yang tinggi yang dapat menyerap tenaga kerja. (Francis Alappatt, 2005: 227)

Usaha menyelenggarakan kesejahteraan umum haruslah menjadi skala prioritas dalam menjalankan Pemerintahan. Selain, karena hal ini merupakan kewajiban konstitusi, namun juga di negara-negara maju menjadi dasar legitimasi dari para pemilih (rakyat). Oleh karena itu diperlukan suatu politik hukum baru dalam rangka memajukan kesejahteraan umum di Indonesia, yaityu suatu politik hukum kesejahteraan umum yang berbasis pada prinsif-prinsip yang berkarakteristik Indonesia.

Penutup

Memajukan kesejahteraan umum (general, welfare, social welfare, people welfare) merupakan kebijakan yang ditempuh oleh setiap negara tanpa memandang garis politik, ideologi dan sistem pemerintahannya. Para pendiri bangsa Indonesia telah menentukan bahwa ‘memajukan kesejahteraan umum’ merupakan juga tujuan berdirinya negara Indonesia. Kesejahteraan umum (general welfare) mempunyai pengertian yang luas, di dalamnya termasuk kesejahteraan yang bersifat sosial (social welfare) dan kesejahteraan secara material (economic welfare). Pemakaian istilah kesejahteraan umum dalam Pembukaan UUD 1945 adalah kesejahteraan dalam arti lahir dan bathin, meliputi seluruh aspek kehidupan. 

Usaha untuk memajukan kesejahteraan umum dalam Konstitusi Indonesia diatur dalam beberapa Pasal dalam UUD 1945. Dalam amandemen UUD 1945, usaha memajukan kesejahteraan umum makin ditambah jumlah pasal dan lingkup bidangnya. Ketentuan Pasal 28H dan Pasal 34 Amandemen UUD 1945 yang telah mendorong keluarnya undang-undang tentang sistem jaminan sosial nasional. Pengaturan ini mempertegas bahwa Konstitusi Indonesia menganut konsep negara kesejahteraan (Welfare State) sejak Indonesia merdeka. Bukan karena kegagalan pasar sebagaimana lahirnya konsep welfare state di Eropa dan Amerika Serikat. 

Oleh karena itu, diperlukan kehendak politik (political will) dan politik hukum (legal policy) yang baru mengenai pengaturan kebijakan untuk mewujudkan kesejahteraan umum secara lebih baik dan meluas di Indonesia yang berdasar pada karakteristik Indonesia berdasar pada Pancasila dan UUD 1945. Politik hukum ini haruslah ditempatkan sebagai politik hukum permanen, jika kita berharap Indonesia dapat terus terawat. Sebab merawat Indonesia agar tetap ada adalah dengan cara menghadirkan kesejahteraan umum bagi warganya, tanpa terkecuali. Semoga.

Padang, 16 April 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar